Membangun Karakter Guru Yang Berwawasan Kebangsaan Nasional

Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang sangat kompleks, karena diperlukan adanya partisipasi nyata dari masyarakat, terutama guru di lingkungan sekolah. Pendidikan juga tidak bisa lepas dari karakter dan budaya. Tataran sekolah adalah sebagai bagian dari membangun karakter dan budaya. Pendidikan memiliki pengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan individu. Pendidikan mampu menentukan model manusia yang akan dihasilkannya.

Pendidikan juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan kontribusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation and Character).   

Adanya tujuan pendidikan nasional diharapkan mampu menjadi satu fokus utama dalam menciptakan pembelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama dapat terealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya, lulusan pendidikan memiliki kepekaan untuk membangun silaturrahmi, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.

Selain itu juga, pendidikan Indonesia menemukan kembali ideologi yang sempat hilang dan tidak terarah, yakni pendidikan demokratis bermoral Pancasila sesuai dengan pernyataan pencetus pendidikan karakter yaitu pedagogik Jerman FW Foerster (1869-1966) yang dikutip oleh Elmubarok (2008: 104) yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pendidikan karakter itu sendiri merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogik ideal-spiritual yang sempat hilang (Masruroh, 2011).   

Para ahli dan praktisi dalam pendidikan semakin menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan afektif dalam pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan tersebut ialah bahwa peserta didik mampu dan mau mengamalkan pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih setelah muncul suatu penemuan bahwa EQ (Emotional quotient) menyambung 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ (Intelectual Quotient) yang hanya menyambung 20%.

Sehingga menguatkan bahwa “keseimbangan antara zikir (menyadari kekuasaan Allah) dan pikir (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menyintesis dan mengevaluasi) merupakan ajaran Islam yang kebenarannya telah terbukti secara empiris, yakni terbentuknya akhlak mulia dan kecerdasan secara terpadu” (Aqib, 2011). Pendidikan karakter bangsa ini urgen dan diajarkan dan dijadikan teladan.

Peserta didik tidak hanya harus dicerdaskan secara intelektual dan emosional, namun karakternya perlu dibangun agar nantinya tercipta pribadi yang unggul dan berakhlak mulia. Pendidikan sangatlah penting, maka dari itu pemerintah sejak awal telah mewajibkan belajar 9 tahun. Pelaksanaan pendidikan, salah satunya pendidikan karakter, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)  mencantumkan pendidikan karakter yang bisa membangun bangsa untuk masa depan Indonesia (Sofan, 2011).  

Tujuan pendidikan karakter adalah sebagai peningkatan wawasan, perilaku, dan ketrampilan, dengan berdasarkan 4 pilar pendidikan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter, namun pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang mengembirakan.

Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh pemahaman orang tua yang masih minim, lingkungan anak didik yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang emosi dari psikologisnya, dan situasi negara yang menumbuh-suburkan jiwa korupsi.  

Degardasi moral anak bangsa semakin memprihatinkan. Karakter telah pertaruhkan dalam tempat yang tidak semestinya. Jika tidak hati-hati, bangsa ini menuju pada apa yang dinamakan The Lost Generation. Semua patut bersyukur banyak pihak yang menyadari kondisi tersebut. Kesadaran itu membawa diskursus dalam banyak kesempatan dan muaranya adalah revitalisasi character building.

Meskipun diskursus pendidikan karakter marak dibicarakan, ada yang pro dan ada yang kontra, hal ini wajar dalam dinamika kehidupan nalar masyarakat, dan itu menandakan adanya kehidupan berpikir, dengan kata lain diskursus pendidikan karakter telah masuk dalam pikiran masyarakat (Barnawi, 2012). 

Kelihatannya masyarakat Indonesia belum dapat berlapang dada, karena pada kenyataannya pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada masalah pokok sistem pendidikan nasional, salah satunya menurunnya akhlak dan moral peserta didik dan manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, serta sumber daya manusia yang kurang profesional.  

Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Kearifan lokal secara dominan masih diwarnai nilainilai adat seperti bagaimana suatu kelompok sosial melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumber daya alam.

Perwujudan bentuk kearifan lokal yang merupakan pencerminan dari sistem pengetahuan yang bersumber pada nilai budaya di berbagai daerah di Indonesia, memang sudah banyak yang hilang dari ingatan komunitasnya,  namun di sebagian kalangan komunitas itu, walaupun sudah tidak lengkap lagi atau telah berakulturasi dengan perubahan baru dari luar, masih tampak ciri-ciri khasnya dan masih berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat. 

Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa, sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus yang berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntunan tersendiri bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya.

Keunggulan lokal merupakan segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, komunikasi, ekologi, agama, dan lain-lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah (Ahmadi, 2012). 

Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif  juga turut membentuk karakter peserta didik.

Inilah bukti nantinya guru mempunyai karakter itu sebagai agen perubahan (agent of change) dalam perwujudan sikap karakter yang nantinya mencetak pada peserta didik baik dalam soft skills and hard skills bisa diandalkan dalam pengembangan pemikiran terhadap IPTEK. Tentunya harus dimulai sejak keberadaannya di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai dengan tingkatan yang lebih tinggi yakni perguruan tinggi.  

Pendidikan karakter yang dilaksanakan oleh guru akan diarahkan kepada pendidikan yang berwawasan kebangsaan dalam penanaman nilai-nilai yang berkarakter bangsa Indonesia. Tentunya sebagai penyangga negara, yang pada akhirnya melaksanakan pengamalan nilai-nilai tersebut dalam aktivitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui pembentukan dasar negara.

Nilai demokrasi dan moralitas bagian dari perwujudan nilai karakter bangsa Indonesia yang memiliki sifat keterbukaan dan sikap saling menghargai dan menghormati antar negara satu dan negara lain, antar suku bangsa, dan yang memiliki watak khas dan etos kebudayaan dalam kesatuan yang utuh dan berbhinneka dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengedepankan sebuah tatanan nilai-nilai Pancasila.