Peningkatan Intensitas Tanam Pada Lahan Kering Dengan Pola Tanam Yang Tepat Untuk Mengurangi Resiko Kegagalan Pane

Peningkatan Intensitas Tanam Pada Lahan Kering Dengan Pola Tanam Yang Tepat Untuk Mengurangi Resiko Kegagalan Panen 
Seiring dengan semakin meningkatnya pembangunan dan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah lahan sawah yang beralih fungsi tiap tahunnya di Indonesia mencapai puluhan ribu hektar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan sulit mengandalkan lahan sawah yang tingkat produktivitasnya mengalami stagnasi, sehingga mengharuskan pemanfaatan lahan kering dan lahan tadah hujan secara optimal. Kebutuhan serealia (padi, kedelai dan jagung) dalam periode 1988 – 2000 akan mencapai 142% (Balitkabi, 1997). Berdasarkan arahan tataruang penggunaan lahan untuk tanaman semusim di Indonesia luasnya mencapai 24.526.100 ha, tanaman tahunan 50.936.639 ha dan peternakan 503.952 ha (Puslitbangtanak, 2001).
Pemberdayaan lahan kering mempunyai alasan yakni: (1) wilayah lahan kering cukup luas; (2) dapat mencukupi sebagian besar komoditi andalan; (3) mempunyai potensi keanekaragaman komoditi yang lebih besar; dan (4) teknologi lahan kering cukup tersedia (Utomo, 2002). Potensi lahan kering di luar Jawa cukup besar mencapai 35,5 juta hektar untuk jagung dan kedelai dengan hambatan ringan sampai sedang. Sedang untuk areal untuk pengembangan palawija dan padi gogo mencapai sekitar 5,1 juta hektar. 
Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan luas wilayah seluruhnya 2.015.315 ha yang terdiri dari Pulau Lombok seluas 470.010 ha dan Pulau Sumbawa 1.545.305 ha. Luas lahan kering di NTB 1.814.340 ha, sebagian besar terletak di P. Sumbawa dan beberapa tempat di Pulau Lombok (Bappeda Propinsi NTB, 2003). Berdasarkan faktor iklim/curah hujan serta bulan basah dan kering Oldeman (1980) membagi tipe iklim NTB menjadi beberapa tipe yaitu type C3, D3, dan D4. Pulau Sumbawa yang didominasi oleh tipe iklim D3 dan D4, Sumbawa Barat termasuk tipe iklim C3 (4-5 bulan basah dan bulan kering lebih dari 6 bulan). Musim hujan dimulai bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret kadang-kadang hujan turun agak terlambat yaitu pada bulan Desember.
Kendala dalam pemanfaatan lahan kering antara lain ketersediaan air terbatas, kesuburan tanah sangat rendah dan priode musim hujan pendek dan tidak menentu. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dengan hasil rendah. Utomo (2002) menyatakan bahwa (1) lahan kering sangat tergantung pada iklim; (2) topografi umumnya tidak datar; (3) lapisan olah tanah dangkal; (4) rentan degradasi (erosi); (5) sistem Usaha tani beragam; (6) pertanian ekstensif; (7) etnis beragam; (8) terpencil karena imfrastruktur buruk; (9) penduduk umumnya relatif miskin; (10) status kepemilikan rumit; dan (11) intervensi pemerintah dalam hal penyuluhan dan kredit kurang 
Menurut Ma’shum (1997) pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominasi type iklim D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan komoditas yang sesuai dengan agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam tumpangsari (intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan dalam memanfaatkan lahan kering di NTB.
Pemilihan Komoditas dan Pola Tanam
Untuk tanaman pangan utama yang menjadi dasar pola usahatani adalah jagung (Maize based – Cropping System), (Balitkabi, 1993). Varietas jagung yang dianjurkan adalah yang berumur genjah dan tahan kering adalah Lamuru atau varietas unggul lain. Demikian pula kacang hijau yang mempunyai potensi hasil tinggi seperti Kenari atau Murai yang merupakan varietas yang berumur genjah dan beradaptasi dengan baik di NTB. Pemilihan varietas dan jenis tanaman kacang hijau sebagai tanaman yang ditumpangsarikan atau disisip pada tanaman basis jagung karena memiliki beberapa kelebihan. Menurut Kasno (1990) kelebihan tersebut adalah dari agronomis dan ekonomis yaitu tahan terhadap kekeringan, berumur genjah (dapat dipanen pada umur 55 – 60 hst), cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah, hama dan penyakit relatif sedikit, tumbuh baik di tanah yang kurang subur atau pada sembarang, jenis tanah yang drainasenya kurang baik, cara budidaya mudah, resiko kegagalan panen scara total kecil dan harga jual relatif tinggi dibanding kacang-kacangan lainnya.
Tanaman pangan yang banyak diusahakan di lahan kering di NTB adalah kacang hijau seluas 47.114 ha, diantaranya 36.862 ha terdapat di Sumbawa dengan produksi 0,76 t/ha, dan jagung luas arealnya 31.217 ha, 8.407 ha diantaranya terdapat di Sumbawa dengan produksi yang dicapai 2,0 t/ha (BPS, 2003). 
Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai berkurang (Februari – Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Februari – Nopember). Kondisi alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk) dengan tingkat pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani lahan kering sebagian besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997). Pengaturan pola tanam secara tumpang sari atau relay kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dan memberikan kepastian panen pada lahan kering.
Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok untuk ketiga faktor tersebut diperlukan strategi. Strategi pertama adalah memanfaatkan curah hujan, hari hujan serta periode hujan selama musim hujan (Nopember – Maret) dengan komoditas yang cocok yang dapat ditanam dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam ). Strategi kedua adalah pemilihan komoditas yang cocok. Keberhasilan produksi tanaman di lahan kering sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim curah hujan (intensitas, frekuensi). Jadi selain penanaman yang dilakukan di suatu lokasi perlu ditinjau dari segi pencapaian produktivitas yang ditentukan oleh kondisi iklim, tanah (Pariera, 1983 dalam Wangiyana, 1995). Strategi ketiga adalah penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi dengan iklim dan tanah yang ada. Pemilihan varietas yang berumur genjah dan cara tanam tumpang sisip/gilir memungkinkan untuk tanam dua kali setahun
Pemanfaatan Lahan Kering
Dalam pemberdayaan atau pemanfaatan lahan kering tidak mudah karena mempunyai beberapa kendala baik aspek teknis, sosial ekonomi, kelembagaan dan aspek lainnya yang turut mempengaruhi keberhasilan pengembangan suatu wilayah untuk pertanian. 
1. Aspek Teknis
Strategi peningkatan produksi tanaman pangan pada lahan kering dengan memperhatikan keadaan lahan, topografi, jarak dari pusat konsumen dan sarana angkutan, maka strategi penanaman tanaman pangan tidak perlu seragam untuk semua wilayah (Bahar, 1987)
a. Menanam tanaman yang sesuai dengan lingkungan tumbuh dan dikenal oleh masyarakat tani karena: (1) lebih mudah melakukan perbaikan cara budidayanya karena lingkungan telah banyak membantu kita, masyarakat sudah mengenal; (2) perlu diperhatikan, pengaruh komoditi yang dipilih terhadap kelestarian lingkungan, apabila dianggap perlu dapat dilakukan perbaikan atau penyesuaian, sehingga tercipta konservasi lahan dan air; (3) bentuk panen dan daya simpan, dijadikan dasar penentu komoditi yang ditanam di lokasi yang jauh dari pusat pemasaran dan atau sarana angkutan yang mahal. Hasil panen yang tidak tahan lama disimpan ditanam dekat pusat konsumen.
b. Mengatur pola tanam untuk memperkecil resiko kegagalan panen, akibat cekaman lingkungan biotik dan abiotik pada lokasi tertentu, misalnya dengan pola tumpangsari atau tumpang gilir, memilih tanaman yang toleran terhadap kurang hujan sehingga akan memperbesar peluang panen dan mengatur perubahan cara tanam, cara pengolahan tanah, dan waktu tanam (misalnya sistim gogo rancah).
c. Menanam tanaman yang memenuhi persyaratan no.1 dan 2 yang ditujukan untuk pasar: (1) komoditi yang ditanam harus berskala ekonomi besar, yang ada kepastian pembelinya; (2) seringkali terjadi hasil panen melimpah harga turun karena tidak ada jaminan pasar; (3) perubahan bentuk dapat meningkatkan nilai komoditi, bahkan dapat disimpan lebih lama akan berperan mempertahankan tingkat harga yang wajar.
d. Memasukan komponen ternak ke dalam pola tanaman pangan akan memperbesar pendapatan petani, pemanfaatan limbah hasil pertanian untuk pakan ternak. Limbah dijadikan kompos untuk kesuburan tanah, proses pemanfaatan limbah memperluas lapangan kerja dan memberi tambahan pendapatan.
Dalam konsep pertanian yang tangguh dan produksi yang lumintu (sustainable) untuk menjawab tantangan masa kini maupun yang akan datang, maka pengembangan suatu wilayah pertanian harus memperhatikan tiga gatra secara terpadu (Darwis dan Satari, 1978 dalam Wahid., et al, 1993), yaitu: (1) gatra produktivitas: setiap paket teknologi yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi dan karakteristik bio-fisik (agroekosistem); (2) gatra ekonomi: layak dan menguntungkan tanpa mengabaikan azas kemertaan; dan (3) berwawasan ekonomi lingkungan: setiap input dan teknologi yang diterapkan tidak terganggu kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan sumberdaya.
Ketiga gatra dan konsep di atas sangat relevan dalam pengembangan lahan kering di NTB sebagai salah satu Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan karateristik lahan yang beragam dan relatif sensitif serta kondisi sosial ekonomi yang memerlukan penanganan lebih dan spesifik pula.
Dalam kaitan ini konsep pendekatan ekoregion dan lokal spesifik lebih tepat untuk diterapkan (Las., et al., 1992), yaitu dengan melakukan 3 pendekatan beruntun terhadap 3 gatra yakni: (1) potensi dan karateristik bio-fisik (iklim, tanah, dan genetik); (2) sosial ekonomi (internal dan ekternal) dan sistem usahatani tradisional dan eksisting; (3) konservasi dan kelestarian sumberdaya pertanian.
Pengelolaan tanaman harus diawali dengan pemilihan komoditi yang berprospek pasar dan cocok untuk kawasan tertentu dan dikelola dengan sistem pertanian berkelanjutan (Utomo, 2002) pada lahan kering diantaranya pergiliran tanaman, tanaman sela, tumpangsari (multiple cropiping). Selanjutnya dikataakan bahwa dalam pengelolaan lahan kering yang menjadi pokok adalah: (1) pertanian (dalam arti luas termasuk tanaman pangan) harus lebih produktif dan efisien; (2) terjadinya proses biologi in situ harus lebih berperan; dan (3) daur ulang hara internal lebih diprioritaskan.
2. Aspek Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Pada lahan kering beberapa aspek sosial ekonomi yang ditemukan, penguasan lahan relatif sempit (0,5 ha) dan belum bersertifikat, disamping itu adanya perladangan berpindah sehingga terjadi lahan kritis yang menyulitkan pengelolaan lahan kering.
Pendidikan petani relatif rendah sehingga berpengaruh terhadap penyerapan/adopsi teknologi yang rendah pula. Dari aspek ekonomi modal petani rendah bahkan tidak mempunyai modal usahatani (Baharudin, 2005).
Untuk penyampaian informasi atau inovasi baru diperlukan dukungan lembaga penyuluhan untuk menyampaikan informasi/teknologi dari lembaga penelitian kepada petani (Baharudin, 2005). Di NTB keadaan ini sekarang sangat memprihatikan karena penyuluh pertanian kurang berfungsi secara optimal bahkan di beberapa kabupaten fungsi penyuluhan sudah tidak berjalan sebagai mana biasanya. Disamping itu kelembagaan yang cukup berperan dalam pengembangan lahan kering adalah: (1) lembaga agribisnis/pertanian; (2) lembaga industri, perdagangan dan keuangan; (3) lembaga koperasi dan PKM;, (4) lembaga pendidikan dan sosial-kemasyarakatan; (5) kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah; dan (6) lembaga hubungan kemasyarakatan (Bappeda Propinsi NTB, 2003).

3. Aspek Dukungan Penelitian
Pembangunan pada umumnya tidak terlepas dari iptek sebagai pedoman yang memberikan arahan untuk merencanakan dan mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan sesuai dengan perioritas yang telah disusun. (Gunadi, 2002) menyatakan bahwa pembangunan di bidang iptek memiliki dua dimensi, yakni sebagai sarana untuk mendukung pembangunan nasional dan sebagai sasaran pembangunan, yang dipadukan dalam pembangunan nasional yang bertumpu pada Sistim Inovasi Nasional (SIN) yang mencakup pilar-pilar utama seperti sumberdaya manusia, teknologi dan modal. Fokus utama dalam interaksi tersebut adalah kegiatan-kegiatan seperti adopsi, adaptasi teknologi baru, inovasi, dan difusi teknologi, perekayasaan, dan invensi baru yang kesemuanya diarahkan untuk menjadikan iptek sebagai tiang utama dalam menumbuhkan daya saing industri dan masyarakat secara keseluruhan.
Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara khususs memfokuskan pembangunan iptek nasional melalui empat strategi, yaitu: (1) peningkatan iptek dunia usaha; (2) diseminasi informasi teknologi; (3) peningkatan kapasitas pengembangan kemampuan sumberdaya iptek; dan (4) peningkatan kemandirian dan keunggulan iptek.
Sumber daya buatan yang sangat diperlukan dalam pengembangan lahan kering di NTB: (1) prasarana pengairan/irigasi; (2) sarana dan prasarana agribisnis pertanian; (3) teknologi produksi pertanian; (4) sarana dan prasarana industri, perdagangan dan keuangan; (5) Sarana dan prasarana listrik dan air bersih; (6) sarana dan prasarana perhubungan, komunikasi dan pariwisata; (7) sarana dan prasarana Aparatur Pemerintah.
4. Dukungan dan Kebijakan Pola Tanam
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam lahan kering di propinsi Nusa Tenggara Barat (Samodra, 2002): (1) mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi; (2) meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan; (3) mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kempentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang; (4) menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Keuntungan menerapkan pola tanam tumpangsari (intercropping) atau multi cropping (Bahar, 1987) adalah: (1) mengurangi resiko kegagalan produksi/panen; (2) peningkatan produksi secara keseluruhan, penggunaan tenaga kerja lebih efisien dgn tersebar kegiatan sepanjang tahun; (3) efisiensi penggunaan. tanah,air dan sinar matahari sbg sumber daya alam; (4) pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan karena adanya tanaman sepanjang tahun; (5) mencegah sistim pertanian berpindah-pindah, (6) pengendalian gulma (dengan pola tanam tidak memberi kesempatan tumbuhnya gulma; dan (7) memperbaiki gizi keluarga petani yang diperoleh dari berbagai tanaman.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan kering di NTB, perlu dilakukan penerapan pola tanam yang tepat, salah satunya adalah dengan pola relay planting (Sub Base Sandubaya Badan Litbang, 1989). Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai berkurang (Februari – Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Aprili – Nopember). Kondisi alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk) dengan tingkat pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani lahan kering sebagian besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997).
Pengaturan pola tanam secara tumpang gilir kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam. Hasil penelitian yang telah dicapai di Lombok Timur pada pola (Jagung + kacang hijau/kacang hijau), jarak tanam jagung (200 x40 cm) dan kacang hijau pertama dan kedua (40 x 20 cm). Jagung dipupuk dengan 250 kg, 100 kg TSP dan KCl 50 kg/ha, kacang hijau pertama dan kedua dipupuk dengan:50-50-50 kg/ha. Diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha, kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha menggunakan varietas Walet (Zairin, M., dkk, 1994).
Di Labangka Kabupaten Sumbawa pada MH.1997/1998 tumpang gilir (Jagung/kacang hijau). Jagung Bisma memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal:0,95 t/ha, meningkatkan pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha, B/C 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha, B/C 1,89.  Hasil kajian tahun 1998/1999 dengan relay kacang hijau pada jagung, pendapatan petani Rp. 1.359.800 dan total pendapatan setahun mencapai Rp. 2.274.014 dibanding petani tanpa relay Rp. 558.674. Hasil yang dicapai ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul baru Lamuru yang tahan kering, berumur genjah (100 hari) dengan potensi hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP NTB, 2004). Dengan demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga pendapatan petani pada lahan kering meningkat 3-4 kali lipat.
Rendahnya produksi yang dicapai petani karena teknologi budidaya yang belum baik, menggunakan varietas lokal, serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan yang cukup banyak permintaannya diperlukan suatu teknologi baru, diantaranya perbaikan teknologi budidaya, jarak tanam, varietas unggul baru yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani, melalui penerapan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat setempat (spesifik lokasi).
Peningkatan Intensitas Tanam Pada Lahan Kering Dengan Pola Tanam Yang Tepat Untuk Mengurangi Resiko Kegagalan Pane
Gambar Hubungan curah hujan dan pemanfaatan intensitas tanam monokultur dan intensitas tanam tumpang sisip di Labangka Sumbawa, MH 1997/1998.
Hasil kegiatan merupakan review dari tiga tahap pengkajian yaitu pada tahun 1994 di P. Lombok , pada tahun 1997 dan pada tahun 1998, kedua terakhir di lokasi Labangka Kecamatan Plampang Sumbawa.
· Hasil kajian di Lombok Timur menunjukkan bahwa tanaman kacang hijau varietas Walet yang ditanam relay dengan jagung mencapai produksi 0,85 t/ha sedangkan yang ditanam dengan tumpang sari produksi hanya mencapai 0,35 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tumpang sisip lebih tinggi dibandingkan tumpangsari (Zairin dkk, 1994).
· Hasil kajian tahun 1997 di Labangka dan Empang Sumbawa memberikan hasil bahwa produksi kacang hijau 0,9 t/ha (varietas Samsik) jagung Bisma 3,75 t/ha keuntungan petani Rp. 3.798.922,- B/C: 2,26. Sedangkan pada intensitas tanam sekali tanaman jagung diperoleh pendapatan bersih Rp. 783.922, B/C 1,89, dan pada intensitas tanam sekali kacang hijau diperoleh produksi 0,4 t/ha, dengan pendapatan bersih Rp. 1.158.000, B/C 1,64 (Wahid, dkk. 1998).
· Hasil kajian tahun 1998 memberikan hasil seperti Tabel 3 berikut ini.
Tabel Analisa Usahatani Jagung Komposit Bisma Monokultur, dan Tumpang Sisip Kacang Hijau di Dalam dan Luar Hamparan Pengkajian (UHP & LUHP) pada MH 98/99.
Peningkatan Intensitas Tanam Pada Lahan Kering Dengan Pola Tanam Yang Tepat Untuk Mengurangi Resiko Kegagalan Pane
Produksi jagung pada sistem tumpang sisip memberikan hasil 2,04 t/ha dengan keuntungan Rp. 917.214/ha, R/C 2,1. Disamping itu produksi kacang hijau yang diperoleh adalah 0,58 t/ha dengan keuntungan Rp. 1.356.800,- R/C 1,3. Pada sistem tumpang sari ini pendapatan petani setahun dapat mencapai (Rp. 917.214 + Rp. 1.356.800) = Rp. 2.274.014. Sedangkan dibandingkan petani monokultur jagung dengan intensitas sekali setahun hanya memperoleh hasil 1,5 t/ha, keuntungan Rp. 558.674, R/C : 1,7. Dengan demikian pendapatan petani dengan cara tumpang sisip meningkat Rp. 1.715.340 (307%). (Peningkatan pendapatan ini dipacu dari kacang hijau).
KESIMPULAN
1. Mengurangi resiko kegagalan produksi/panen.
2. Menerapkan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat setempat (spesifik lokasi).
3. Meningkatkan produksi secara keseluruhan, dan menguntungkan petani.
4. Penggunaan tenaga kerja, penggunaan tanah, air dan sinar matahari sebagai sumberdaya alam lebih efisien, dan pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan kerena adanya tanaman sepanjang tahun.
5. Secara lingkungan dapat memperbaiki struktur tanah dan mengingkatnya aktivitas biologi tanah.
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominan type iklim D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan komoditas yang sesuai dengan agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam tumpangsari (intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan dalam memanfaatkan lahan kering di NTB. Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok untuk ketiga faktor tersebut diperlukan strategi: (1) memanfaatkan curah hujan dengan komoditas yang cocok yang dapat ditanam dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam), (2) pemilihan komoditas yang cocok, dan (3) penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi iklim dan tanah yang ada. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan pola tumpangsari dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan meningkatkan produksi 2-3 kali dibanding dengan pola monokultur. Disamping itu dengan pola tumpan gilir dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali menjadi dua kali. Hasil yang dicapai di Lombok Timur pada pola (jagung + kacang hijau/kacang hijau), diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha, kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha. Sedangkan di Labangka Kabupaten Sumbawa tumpang gilir ( Jagung /kacang hijau), jagung Bisma memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal: 0,95 t/ha, meningkatkan pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha, B/C ratio 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha, B/C 1,89. Hasil yang dicapai ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul baru Lamuru yang tahan kering, berumur genjah (95 hari) dengan hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP NTB, 2004). Dengan demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga pendapatan petani pada lahan kering meningkat 2-3 kali lipat.
Kata kunci: lahan kering, tumpangsari, intensitas tanam, produktivitas, NTB.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 1993. Hasil-hasil Penelitian pada Lahan Kering Beriklim di Propinsi NTB. Proyek P3NT Sub Base Sandubaya Lombok NTB
Bahar, F (1987). Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian
Baharuddin, AB (1997) Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Kering NTB. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Perbaikan Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997
Baharuddin, 2005. Pengelolaan Lahan Kering. Bahan Kuliah semerter I Program Magister Pengelolaan Sumbedaya Lahan Kering. Fakutas Pertanian 
Balittan Malang, 1993. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
Balitkabi, 1997. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
BPS, 2003. NTB Dalam Angka Kerjasama, Bappeda Propinsi NTB dengan BPS Propinsi NTB
Bappeda Propinsi Nusa Tenggara Barat (2003). Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB (2003-2007).
BTP NTB, 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Lombok Timur. Laporan tahunan, BPTP NTB 
Gani, J. A., M.Zairin dan I. Basuki, 1999. Tumpang Gilir (Relay Planting) Jagung dengan Kacang Hijau pada Lahan kering. Bala Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Badan Litbang Pertanian.
Kanwil Pertanian Propinsi NTB (2000). Rekomendasi Teknologi Pertanian . Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, IP2TP Mataram,
Kasno, A., 1990. Adaptasi Galur-galur Harapan Kacang Hijau pada Lahan Sawah. Perbaikan Teknologi Tanaman Pangan Risalah lahan kering Mataram. 11-13 September 1990. Balittan Malang.
Las,I., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. A.Syarifuddin Karam dan I. Manwan, 1990. Peta Akroekologi Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Indonesia, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Ma’shum, M (1997). Kemangkusan (Efficiency) Pemupukan di Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997.
Oldeman, L, B, Irsal Las, and Muladi (1980). The Agroclimat Map of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, Bali, West and East Nusa Tenggara. Central Research Institute for agriculture Indonesia. 
Puslitbangtanak, 2001. Atlas Arahan Tataruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian.
Samodra, N. 2000. Kebijakan Pengelolaan Lahan Kering di Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB,2000
Utomo, 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama pada Seminar Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di mataram, 27-28 Mei 2002.
Wahid P., I. Las dan K. Dwiyanto (1993). Konsep Dasar Pendekatan Pengembangan Lahan Kering Berwawasan Lingkungan di Kawasan Timur Indonesia. Lokakarya, Status dan pengembangan lahan kering di Indonesia. Badan Litang Pertanian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara . Mataram, 16-18 Nopember 1993.
Wahid, A.S, I. Basuki, Wirajaswadi, L. (1999) Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Jagung di Lahan Kering. (IPPTP Mataram)
Wangiyana, W. (1995). Pewilayahan Komoditas Tanaman Berdasarkan Kondisi Iklim : Suatu Tinjauan Permasalahan dan Prospek Jangka Panjangnya. Makalah disampaikan pada Seminar. Pemanfaatan Sumberdaya Iklim dalam Pengembangan Pertanian yang Efisien di Mataram. 30 Nopember 1995.
Zairin, M., K. Kumoro, A. S. Wahid, Sudarto dan M.Y. Maamun. (1994). Evaluasi Pola Tanam Ladang dan Lahan Petani di Desa Labuhan Lombok dan Pringgabaya Lombok Timur. Proyek P3NT Sub. Base Sandubaya Lombok NTB.