Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam

Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam 
A. Perintah Membaca (Iqra’)
Wahyu turun untuk pertamakali dan membuka wahyu-wahyu yang lain adalah perintah membaca. Secara idiologis wahyu perintah membaca menjadi falsafah dasar. Falsafah berasal dari bahasa Arab. Padanan dalam bahasa Indonesia diucapkan filsafat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Yang dimaksud kebijaksanaan di sini adalah kebenaran. Artinya, filsafat adalah cinta kebenaran. Orang yang cinta kebenaran disebut filosof. Ketika kata ‘falsafah’ dirangkai dengan kata ‘dasar’dan menjadi ungkapan ‘falsafah dasar’, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran dasar, yaitu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan (untestable trust) karena sudah demikian jelasnya, tidak bisa diingkari lagi seperti ‘sebagian lebih kecil daripada keseluruhan’; permulaan segala sesuatu adalah Yang Ada Yang sekaligus Esa, semua berasal dari Yang Esa, dan tidak mungkin dari kekosongan’.
Alquran sebagai sesuatu yang benar bagi setiap orang Islam adalah sesuatu yang benar mutlak, tanpa tawar, harga mati, dan tidak ada keraguan. Dengan demikian, kebenaran Alquran tidak perlu diuji (untestable – Muslim A.Kadir, 2003 : 5,10). Karena kebenaran Alquran tidak perlu diuji, bahkan tidak dapat diuji, maka sikap setiap muslim terhadap Alquran adalah beriman kepadanya. Iman berbeda dari percaya. Kepercayaan tidak meniscayakan konsekuensi eskatologis seperti dosa, siksa kubur, atau siksa neraka atau yang sejenisnya, iman mengandung hal itu. Orang tidak beriman sesuai ajaran Alquran akan mendapatkan siksa kubur maupun siksa akhirat. Di dunia, orang yang tidak beriman dikategorikan kafir (ateis) atau yang sejenisnya. Dengan demikian yang dimaksud ungkapan ‘falsafah dasar iqra’ adalah setiap orang Islam mesti beriman secara penuh tanpa ada ruang sekecil apapun keraguan bahwa ia harus membaca, sebagai respon terhadap perintah membaca: ‘iqra’ (bacalah). Kebenaran perintah membaca didasarkan pada iman. Implikasi lebih lanjut, bagi yang mau membaca berarti beriman, dan bagi yang tidak membaca berarti tidak beriman.
Buah orang yang mau membaca adalah memperoleh pengetahuan. Semakin banyak membaca, semakin banyak memperoleh pengtahuan. Orang yang memiliki pengetahuan banyak, di lingkungan masyarakatnya disebut sebagai ‘alim. Semakin banyak ilmu seorang ‘alim disebut ‘allamah.komunitas orang-orang ‘alim disebut ‘ulama’. Karena falsafah dasar dalam Islam adalah iqra’ (bacalah), maka kebenaran asasi dalam Islam menghendaki bahwa setiap umat Islam seharusnya menjadi orang yang rajin membaca, harus menjadi orang ‘alim, dan harus menjadi ‘allamah. Mengaku dirinya sebagai seorang muslim, tetapi tidak atau malas membaca berarti mengingkari diri akan keislamannya, atau ia ogah-ogahan, bahkan melecehkan dirinya sendiri akan keislamannya.
Karakter iman sejati adalah rajin membaca. Kemunafikan atau kekufuran terjadi karena ketidakmauan membaca. Pernyataan ini semakin jelas karena wahyu pertama dalam Islam yang diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca itu sendiri. Demikian Allah berfirmsan: 
اقراء باسم ربك الذى خلق خلق الانسان من علق اقراء وربك الا كرم الذى علم با لقلم علم الاسان ما لم يعلم 
Artinya
Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-‘Alaq/96:l-5).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa starting point orang beragama dalam Islam secara legal bukan hanya syahadad, melainkan juga kesadaran mau membaca (qara’a, iqra’) sekaligus. Dengan demikian antara kredo syahadad dan kesadaran membaca ibarat sekeping mata uang yang tanpak dari dua sisi dan keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan. Hanya syahadad saja tanpa kesediaan membaca berarti mengingkari Islam dan mengingkari dirinya sendiri; dan hanya membaca tanpa syahadad jelas-jelas ia kafir (ateis). Masuk Islam sejati secara resmi membaca syahadad sekaligus disertai kesadaran dan komitmen untuk mau membaca. 
1. Objek Bacaan 
Berdasarkan wahyu pertama yang turun tersebut di atas yang harus dibaca adalah ma> khalaqa, yaitu sesuatu yang Allah telah ciptakan atau disebut juga makhluk (ciptaan). Ciptaan Allah ada dua macam: tertulis, yaitu kitab suci Alquran, dan yang tidak tertulis, yaitu alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Secara tradisional akademik objek bacaan tertulis disebut ayat qur’aniyyah dan objek bacaan yang tidak tertulis disebut ayat kauniyyah (Rahmat, l988 : l9). Secara praktis ayat qur’aniyyah mengandung pengertian membaca setiap huruf, kata, dan kalimat yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an al-Karim, dan membaca ayat kauniyyah adalah membaca setiap fenomena atau gejala alam semesta. 
Tercakup dalam pengertian membaca (qara’a, iqra’) sebgaimana dijelaskan ayat-ayat qur’aniyyah yang turun sesudah ayat pertama itu antara lain (terambil dari kata dasar): 
a. Nadhara-yandhuru (dalam bahasa Indonesia menjadi nalar) yang secara praktis berarti meneliti secara cermat dan berulang-ulang sehingga dapat ditemukan hakikat pengertiannya dan kegunaannya dalam kehidupan, umpama:
افلا ينظرون الى الا بل كيف خلقت و الى السماء كيف رفعت والى الجبال كيف نصبت
والى الارض كيف سطحت
Artinya 
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan ? Dan langit bagaimana ia ditinggikan ? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ? dan bumi bagaiamana ia dihamparkan ? (Q.S. al-Ghasyiyah/88 : 17-20). 
Ayat tersebut Secara eksplisit menjelaskan bahwa manusia supaya melakukan nadhar (menalar) terhadap unta, terhadap langit, terhadap gunung, dan terhadap bumi. Penunjukan objek-objek nadhar ini dapat dipahami sebagai contoh yang realisasinya adalah petunjuk untuk melakukan nadhar terhadap fenomena apa saja yang ada di alam semesta ini. 
b. Tafakkara-yatafakkaru
Kegiatan berpikir mesti menghasilkan sesuatu pengertian, dan orang hanya bisa berpikir setelah ia memperoleh rangsangan baik dari luar melalui potensi indra maupun rangsangan dari dalam diri. Secara lugas dan terang-terangan Allah memerintah kita untuk melakukan kegiatan berpikir untuk meningkatkan kualitas hidup supaya lebih baik dan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Sekurang-kurangnya l8 kali Alquran memerintahkan supaya kita melakukan berpikir yang lafal nya menggunakan kata yang berakar dari kata fakkara,yafkaru, fikran. Contoh perintah ini adalah: 
ثم كلى من كل الثمرات فاسلكى سبل ربك ذللا يخرج من بطونها شراب الوانه فيه شفاء
للناس ان فى ذالك لاية لقوم يتفكرون 
Artinya
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkannya (Q.S. an-Nahl/16:69). 
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa sesuatu yang keluar dari perut lebah ternyata menjadi obat bagi manusia. Setelah dibuktikan melalui ilmu kedokteran, ilmu nutrisi, ilmu teknologi pangan, ilmu analis kesehatan, sebagai rispon dalam bentuk memikirkannya ternyata benar adanya bahwa obat itu adalah madu dan berfungsi sebagai obat dari banyak macam penyakit. 
c. ‘Aqala
Dari kata ‘aqala dapat diturunkan kata ‘aqal, yang padanan kata dalam bahasa Indonesia ‘akal’. Secara praktis akal bisa dikatakan potensi yang aktualisasinya berpikir, mengingat, menghayal, dan yang sejenisnya. Tigapuluh satu kali Alquran menyebut berbagai kata yang berakar dari kata ‘aqala (‘aqalu, ya’qilu, ta’qilu, ya’qilun, ta’qilun dan yang sejenisnya) yang jika dipahami mengandung petunjuk “ siapa saja yang mau mengaktifkan akal untuk kepentingan dirinya akan membawa manfaat dan keselamatan, dan siapa yang tidak melakukannya atas peringatan itu akan berakibat celaka. Berikut ini contoh mengaktifkan akal terhadap peringatan Allah supaya kita memikirkan aneka macam tanaman yang kemudian menjadi rizki bagi kita: 
ومن ثمرات النخيل والاعنا ب تتخذ ون منه سكرا ورزقا حسنا ان فى ذالك لاية لقوم
يعقلون 
Artinya
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebenaran Allah) bagi orang yang memikirkan (Q.S. an-Nahk/l6 : 67). 
Berikut ini contoh orang yang tidak mau mengaktifkan akal untuk berpikir dan berakibat celaka di kemudiannya: 
وقالوا لو كنا نسمع او نعقل ما كنا فى ا صحاب السعير 
Artinya
Dan mereka berkata “sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala (Q.S. al-Mulk/67 : l0). 
d. ‘ibrah (pelajaran)
Sembilan kali Allah memerintahkan kita supaya pandai-pandai mengambil pelajaran di balik berbagai peristiwa (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 565) umpama supaya kita mengambil pelajaran mengenai keberadaan binatang ternak. Dari situ justru kita minum air susunya. Allah berfirman: 
وان لكم فى الانعام لعبرة نسقيكم مما فى بطونه من بين فرث ودم لبنا خالصا شائغا
للشاربين 
Artinya
Dan sesungguhnya pada binatang ternak terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memeberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (Q.S. an-Nahl/l6 : 66). 
e. Ra’a (melihat)
Pengertian ra’a secara praktis adalah melihat sesuatu fenomena, peristiwa atau hal disertai memikirkannya secara cermat, hati-hati, dan waspada. Berbagai kata jadian yang diturunkan dari kata ra’a, umpama yara, tara, nara, yaran, taran, naran, dan masih banyak lagi disebut dalam Alquran sebanyak 328 kali (‘Abd al-Baqi, [t.th.]: 356-362), umumnya orang akan menyesal karena tidak mau melakukan perintah Allah untuk ra’a karena pasti berakibat fatal, contoh: 
الم يروا كم اهلكنا من قبلهم من قرن مكنهم فى الارض مالم نمكن لكم وارسلنا السماء
عليهم مدرارا وجعلنا الانهار تجرى من تحتهم فاهلكناهم بذنوبهم وانشاء نا من بعدهم
قرنا اخرين
Artinya
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi) itu telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami benasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain (Q.S. al-An’am/6 : 6). 
f. Faqiha
Kata yang dapat diturunkan dari kata faqiha antara lain yafqahu, tafqahu yang secara umum berarti memahami, paham, mengerti dan yang sejenisnya disebut dalam Alquran sebanyak 20 kali, yang menandakan bahwa umat Islam harus senantiasa memahami, mengerti diri dan lingkungan di mana ia berada, termasuk dari mana ia berasal dan akan ke mana ia pergi dari kehidupan ini kalau ia ingin hidup selamat. Ayat berikut memberikan penjelasan bagaimana manusia berada dalam keadaan hidup di dunia ini: 
وهو الذى انشاكم من نفس واحدة فسستقر ومستودع قد فصلنا الايات لقوم يفقهون 
Artinya
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui (Q.S. al-An’am/6 : 98). 
g. Fahima
Satu kali Allah menyebut kata fahima dengan pengertian ‘mengerti’, yaitu pada: 
ففهمنها سليمن وكلا اتيناحكما وعلما وسخرنا مع داود الجبال ويسبحنا والطير وكنا
فاعلين 
Artinya
Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum( yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya (Q.S. al-Anbiya/21 : 79). 
h. ’Alima
Dari kata ‘alima dapat diturunkan antara lain kata al-‘ilm (ilmu). Berbagai turunan dari kata ‘alima (ya’lamu, ta’lamu, na’lamu, ta’lamun, ya’lamun, i’lamu, ‘allama, dan yang sejenisnya) disebut sebanyak 749 kali dalam Alquran yang secara keseluruhan berbicara soal pengetahuan atau ilmu, termasuk mengajar, mengajarkan, dan yang mengetahui atau berilmu (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 596-609).Contoh penggunaan kata ‘alima dalam Alquran adalah sebagai berikut
اقراء باسم ربك الذى خلق خلق الانسان من علق اقراء وربك الاكرم الذى علم بالقلم علم 
الانسان ما لم يعلم 
Artinya
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacala, dan Tuhanmu Yang maha mulia. Yang mengajar kepada (manusia) dengan perantaraan qalam. Yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-‘Alaq/96 : 1-5) 
i. Ulul Alba>b
Ulul Alba>b berarti orang yang berakal. Alquran menyebut kata ini sebanyak 13 kali (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 126-127). Orang-orang yang mengindahkan petunjuk atau peringatan Allah disebut ulul alba>b, sedang yang tidak mengacuhkannya disebut orang yang tidak berakal, meskipun memiliki rasio. Rasio berbeda dari akal. Rasio hanya bercirikan logis, sedang akal di samping logis juga mengandung keimanan. Ayat berikut menyebutkan bahwa hanya ulul alba>b saja yang dapat mengambil pelajaran atas firman Allah. Orang kafir, betapapun jenius tetap tidak berakal (ulul albab): 
ان فى خلق السماوات والارض واختلا ف الليل و النهار لايات لاولى الالباب 
Artinya
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi yang orang-orang yang berakal (Q.S. Ali Imran/3 : l90). 
j. Ulil Absha>r
Empat kali kata ulil absha>r disebut dalam Alquran, yaitu: Ali Imran/l3: l3; an-Nur/24 : 44; Shad/38 : 45; dan al-Hasyr/59 : 2 dengan pengertian sama dengan pengertian ulul alba>b. Hanya saja intensitas hasil pengetahuan yang didapat lebih mendalam, lebih luas, dan lebih komrehensif karena pengetahuan yang diperoleh juga bertolak dari eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang hingga menghasilkan pengetahuan yang amat meyakinkan atau mujarab(arti kata asal mujarab adalah telah teruji) Demikian contoh pemakaian kata ulul abshar dengan pengertian seperti yang dimaksud:
يقلب الله اليل والنهار ان فى ذالك لعبرة لاولى الابصار 
Artinya
Allah mempergntikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (Q.S. an-Nur/24 : 44). 
k. Ulin-Nuha
Kata ini disebut dua kali, yaitu dalam surat Thaha/20 : 54 dan 128. Pengertiannya sama dengan ulil abshar. Contohnya : 
افلم يهد لهم كم اهلكنا قبلهم من القرون يمشون فى مساكنهم ان فى ذالك لايت لاولى النهى
Artinya
Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami binasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu ? Sesungguhnya pada yang demikian itu tertdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (Q.S. Thaha/20 : l48).
l. al-Huda
Pengertian al-huda secara litreral adalah petunjuk. Berbagai turunan dari kata ini seperti al-hadi (orang yang memberi petunjuk),al-muhtadin (orang yang memperoleh petunjuk) dan lainnya yang sejenis adalah masih dalam kegiatan berpikir atau membaca (qara’a, iqra’). Kata ini disebut dalam Alquran sebanyak 285 kali. Disebutkan antara lain bahwa orang yang tidak mau mengindahkan petunjuk Allah pastilah ia tersesat dan celaka, umpama firman berikut: 
واذا قيل لهم اتبعوا ما انزل الله قا لوا بل نتبع ما الفينا عليه اباءنا اولوكان اباءهم لا يعقلون
شياء ولا يهتدون 
Artinya 
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab “tidak”, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ? (Q.S. al-Baqarah/2: 170).
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perintah membaca (iqra’) dalam permulaan wahyu kemudian diikuti dengan periuntah-perintah lain yang masih dalam cakupan pengertian ‘membaca’, yaitu: fakara, ‘aqala, ‘bbara/’ibrah, fahima, faqiha, alima, ulul alba>b, ulil abshar>, ulin-nuha, dan al-huda. Pergeseran penggunaan lafal qara’a kepada yang lain seperti fahima karena disesuaikan dengan konteks, objek, manfaat, prosedur, atau akibat yang dibaca. Harap segera disadari bahwa keseluruhan perintah membaca (iqra’/qara’a) bertujuan agar setiap hamba Allah yang mengindahkan perintah itu menjadi orang yang selamat, pintar, dan bahagia, baik secara individu maupun kelompok, di dunia maupun di akhirat. 
Hanya saja perlu disayangkan, kita sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan merupakan penduduk terbesar dunia, umat Islamnya yang diperintah Tuhannya untuk banyak membaca dan perintah membaca itu diulang-ulang lebih dari l000 kali, justru menjadi umat yang bodoh, terbelakang, dan memiliki predikat yang sama sekali tidak diharapkan, yaitu korup dan bermental jelek (Krarr, l988:89). Menyitir ungkapan Muhammad Abduh, Syaikh al-Azhar di Kairo Mesir mengatakan “Di sini hanya ada muslim tetapi tidak ada Islam. Di Barat hanya ada Islam tetapi tidak ada muslim.”
Kita mengaku masuk ke dalam Islam, tetapi langkah kaki kita justru menuju keluar Islam. Falsafah dasar iqra’ yang mestinya kita rambah, tetapi malah menapaki ruas-ruas jalan non iqra’. Jadilah kita tersesat amat jauh dari jalan Islam, terbelakang, tidak sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (sebagai hasil kegiatan iqra’). Untuk itu mari belokkan arah langkah kaki kita menuju jalan yang ditunjukkan Allah, yaitu membaca, memikirkan, meneliti, berekperimentasi, investigasi, menalar, mengambil pelajaran, mengamati, memahami, berusaha mengerti yang kesemuanya ditujukan untuk memperoleh kejayaan Islam dan muslimin, di dunia dan akhirat. 
2. Prosedur Pembacaan 
Berdasarkan wahyu yang pertama tadi, di dalam membaca baik ayat-ayat quraniyyah maupun ayat-ayat kauniyyah harus disadari semata-mata melaksanakan perintah Allah. Pekerjaan membaca (qara’a/iqra’ )yang berarti bacalah/membaca adalah atas nama Allah (bismi rabbika). Implikasi yang diperoleh dari pemahaman ini menuntun kepada sikap mental, betapapun kita luar biasa pintar, cerdas, dan jenius akan tetap tawad}u>’ dan merendah diri di hadapan Allah karena apapun yang dilakukan dalam kegiatan membaca adalah atas nama Allah, bukan atas nama diri kita sendiri. Selain itu juga berimplikasi bahwa kegiatan membaca karena dikerjakan atas nama Allah akan terhitung sebagai ibadah dan perbuatan suci. Dari sini dapat diturunkan premis minor bahwa “Belajar adalah kegiatan suci dan ibadah, kuliah dalam kelas adalah kegiatan suci dan ibadah, eksperimentasi di laboratorium adalah kegiatan suci dan ibadah, dan mengambil hikmah di balik setiap peristiwa adalah kegiatan suci dan ibadah manakala dimotivisir dan ditujukan untuk kejayaan Islam dan muslimin, bahkan umat manusia. 
3. Hasil Pembacaan dan Jangkauannya
Ketika kita membaca (inklusif berbagai pengertian yang terkandung di dalamnya: nalar, memperhatikan, bereksperimen, mengambil pelajaran, meneliti, mengingat, berimaginasi, berkonsentrasi pikiran dan yang lainnya yang sejenis) akan memperoleh sesuatu. Dalam dunia ilmu (science), ‘sesuatu’ itu disebut pengetahuan (knowledge). Semakin banyak kita membaca, semakin banyak kita memperoleh pengetahuan. Jika secara logis atau empiris dua atau lebih‘ sesuatu’ yang juga dapat sebut dua atau lebih variabel ada hubungan dasar, yaitu hubungan yang mesti ada dan tidak pernah tidak ada maka akan memunculkan ‘sesuatu, pengetahuan, variabel baru sebagai kesenyawaan dua ‘sesuatu’ tadi yang disebut teori (Russel, l979: 439). 
Contoh hubungan dua ‘sesuatu’, disebut juga konsep, fakta atau variabel bertolak dari firman Allah berikut: 
اتل ما اوحي اليك من الكتاب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله اكبر والله يعلم ما تصنعون
Artinya
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mncegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-‘Angkabut/29 : 45).
Dari ayat tersebut dapat diambil (l) ‘ sesuatu’, konsep, atau variabel ‘shalat’ , (2) keji dan mungkar. Di sini ada hubungan antara shalat dan kekejian. Hubungan itu bercorak sebab akibat. Ada Orang melakukan shalat justru berbuat keji dan mungkar contohnya melakukan hubungan sek bebas dan korupsi. Ada orang melakukan shalat lalu terjauh dari perbuatan keji dan mungkar, yaitu menjadi shalih. Dengan demikian hubungan antara konsep shalat dan konsep keji-mungkar tergantung oleh faktor lain. Faktor ini disebut faktor pengantara. Faktor pengantara bisa berwujud sebagai faktor penentu, faktor penghambat atau faktor pendukung. Jika digambar kan akan diperoleh bagan sebagai berikut: 
Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam
Keterangan:
  1. Memakai wewangian, memenuhi sunnah-sunnah, di masjid, berjamaah adalah faktor pendukung yang posisinya sebagai unsur yang boleh ada dan boleh tidak. 
  2. Tidak khusyu’ adalah faktor penghambat bagi menghilangkan variabel keji dan mungkar.
Dari bagan-bagan ini dapat disusun teori: Jika anda shalat dengan kualitas shalat khusyu’, maka pasti anda dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.Dalam teori ini sesuatu atau variabel yang mesti ada adalah (l) kegiatan shalat, dan (2) kualitas khusyu’. Sebaliknya, “jika anda shalat tidak khusyu’, pasti anda tidak bisa meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Unsur teori ini adalah (l) kegiatan shalat, dan (2) tidak ada kualitas khusyu’
Jika ada hubungan sistematis (logis, empiris)antar berbagai teori (Kemeny, l981: l75), maka akan muncul sesuatu. Sesuatu itu disebut ilmu. Dengan demikian dapat dibuat bagan ilmu sebagai berikut: 
B A G A N I L M U
Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam
Keterangan: 
P = sesuatu, pengetahuan, konsep, variabel
T = teori
Di muka dijelaskan bahwa yang harus dibaca orang Islam adalah ayat quraniyyah dan ayat kauniyyah. Dari sini segera dapat dipahami bahwa membaca ayat yang pertama akan memeperoleh konsep, pengetahuan, variabel kemudian mengerucut menjadi sejumlah teori, dan selanjutnya meruncing menjadi sejumlah ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa (nahwu, sharaf, dan balaghah), ilmu hadis, ilmu tafsir. Dari ayat ini pula akan diperoleh konsep, variabel, teori, dan ilmu perilaku, seperti konsep, teori, ilmu akhlaq, ilmu pendidikan Islam (ilmu tarbiyah). Ilmu dakwah, maupun konsep, teori, ilmu menjadi orang takwa. Sementara itu pembacaan terhadap ayat kauniyyah akan memperoleh konsep, teori, dan ilmu tentang alam (ilmu-ilmu kealaman). Akhirnya, setelah kita dapati ilmu-ilmu – yang selama ini kita sebut ilmu-ilmu agama atau keagamaan – juga kita dapat ilmu-ilmu – yang selama ini disebut -ilmu kealaman atau umum dapat disistemisasi kerangka epistemologi (cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang meliputi: asal-usul, cara memperolehnya, struktur, hakikat, dan validitasnya,( De Runes, l976 : 93-95 ) sebagai berikut:
  • Sumber ilmu adalah Alquran dan alam semesta yang keduanya bersumber dari Allah. 
  • Cara memperoleh ilmu (iqra’) menggunakan potensi iman, akal, rasio, indera secara terpadu (keterpaduan iman (intuisi) dengan: ‘aqala, ‘alima, faqiha, fahima, ‘ibrah, nadzara, ulul albab, ulil abshar, ulin-nuha).
  • Hasil yang diperoleh adalah konsep, teori, ilmu:al-‘ilm al-quraniyyah, al-ilm‘alamiyyah, al-‘ilm al-‘amaliyyah atau dengan kata lain: humanioral science, social science, natural science, dan practical science. Humanioral science bisa bersumber dari ayat quraniyyah maupun ayat kauniyyah
  • Struktur ilmu mencakup ilmu-ilmu intuitif, ilmu-ilmu rasionalistik, ilmu-ilmu empiris, ilmu-ilmu etis, dan ilmu-ilmu praktis.
  • Kebenaran ilmu diukur dari keseuaian dari jenis ilmu. Dengan demikian ada kebenaran empiris, kebenaran logis (rasionalis), kebenaran intuitif, dan kebenaran etis, yaitu kebenaran atas dasar iman. Masing-masing kebenaran itu tidak saling menegasikan, tetapi saling melengkapi dan berpuncak pada misi kemanusiaan sebagai khalifah fi al ard} atau kehendak Allah sebagaimana tertuang dalam Alquran maupun assunnah. Noeng Muhadjir menyebutnya kebenaran multi faset.
  • Manfaat ilmu adalah kualitas hidup yang baik (shalihin, muttaqin, muh}sinin) dan akibat lebih lanjut adalah sa’adah fi daraini (kebahagiaan hidup dunia-akhirat).
Jika dibuat bagan akan diperoleh bagan sebagai berikut : 
POSISI ILMU KEPERAWATAN DALAM ILMU ISLAM 
Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam
Keterangan: 
  • Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang ada sebagai yang ada dalam arti seumum-umumnya. Jika sesuatu diputuskan ‘ada’, sesuatu itu bisa dibahas lebih lanjut. jika sesuatu diputuskan ‘tidak ada’ berarti selesai, dalam arti tidak ada pembahasan.
  • Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prosedur bagaimana kita memperoleh pengetahuan.
  • Aksiologi adalah cabang filsafat yang membehas tentang manfaat dari suatu ilmu Mazkur, l979 : 20, 1, 26)
Dari bagan di atas dapat dipahami pula bahwa ilmu itu hanya satu, berasal dari Yang Maha Satu, tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum, yang ada hanyalah spesifikasi ilmu karena kegiatan pengembangan ilmu yang ditentukan oleh objek, runag lingkup, tujuan, metodologi, dan metodenya.
B. Resume
Dari penjelasan yang terdahulu ini dapat diringkas bahwa: 
  1. Allah adalah Pencipta alam seisinya, satu diantaranya adalah manusia 
  2. Manusia beriman kepada Allah dengan segala manifestasinya, satu diantaranya beriman kepada Alquran. 
  3. Alquran memerintahkan kepada yang beriman kepadanya agar membacanya. Realisasi membaca dalam bingkaian akademik antara lain merenung, meneliti, eksperimentasi.
  4. Hasil kegiatan membaca adalah memperoleh sesuatu: konsep, ide, variabel. Hubungan dasar dua atau lebih konsep, variabel adalah teori. Hubungan rasional sejumlah teori serumpun menghasilkan ilmu.
  5. Alquran adalah sumber petunjuk bagi manusia, satu diantaranya sebagai sumber ilmu. Dengan demikian tidak ada sekat ilmu agama dan ilmu umum, tetapi yang ada adalah ilmu itu satu yaitu berasal dari Allah – Alquran. Pembidangan ilmu berakar dari ilmu Allah yang satu ini. 
  6. Ilmu Tarbiyah atau ilmu pendidikan (Islam) adalah satu diantara hasil pembidangan dari ilmu Islam, atau dengan kata lain, ilmu pendidikan Islam atau ilmu tarbiyah adalah bagian dari lmu Islam yang secara umum memiliki misi rahmatan li al-‘a>lami>n dan bertujuan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.
  7. Ilmu Pendidikan Islam (Ilmu Tarbiyah ) dengan demikian adalah bagian dari Ilmu Islam itu sendiri, berbeda dari ilmu pendidikan perguruan tinggi di manapun, termasuk fakultas-fakultas tarbiyah di IAIN maupun UIN di tanah air ini yang tidak terbingkai dalam filsafat Ilmu Islam: mencakup asumsi, sumber ilmu, cara memperoleh ilmu, hakikat ilmu, struktur ilmu, faliditas Ilmu, dan manfaat ilmu. Karakter prodi Tarbiyah Unimus yang seperti, dengan demikian tidak dimiliki oleh perguruan tinggi lain.
B. Kebenaran Al-quran Dalam Tinjauan Teori Ilmiah
Alquran adalah petunjuk hidup secara kongkrit bagi manusia pada umumnya. Allah berfirman: 
شهر رمضان الذى انزل فيه القران هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان —
Artinya
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan Alquran sebagai petunujk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) . . . (Q.S. al-Baqarah/2 : 185) atau petunjuk bagi hambanya yang takwa saja. Allah berfirman: 
الم ذالك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين – – – 
Artinya
Alif lam mim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang takwa. . . (Q.S. al-Baqarah/2 : 2) 
Salah satu dimensi kehidupan adalah dunia akademika, dan salah satu dunia akademika adalah dunia ilmu (science). Telah dibuktikan bahwa Alquran juga berfungsi sebagai sumber ilmu, sumber cara-cara memperoleh ilmu, dan sumber untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat atas dasar ilmu. 
Sebagai sumber petunjuk, Alquran diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa keraguan sedikitpun sehingga karakter kebenaran itu tidak perlu diuji (untestable truth). Kebenaran yang demikian akan dibandingkan dengan teori ilmiah. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa kebenaran Alquran adalah benar-benar mutlak, absolut, tidak menerima perubahan oleh siapa pun dan kapan pun sehingga akan tampak juga bahwa kebenaran ilmiah bukan apa-apanya jika dibanding kebenaran Alquran.
1. Teori ilmiah tidak menerima kata ‘kekal’ baik persoalan-persoalan yang dimunculkan dalam iklim ilmu maupun teori-teori dalam setiap cabang ilmu. Semenjak muncul gerakan filsafat liberalisasi dari dominasi gereja, moralitas tidak mendapat perhatian dari para ilmuwan, tetapi setelah Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh tentara sekutu yang dimotori Amerika Serikkat, dan setelah berkecamuk perang dingin antara Uni Soviet dan sekutunya versus Amerika Serikat dan sekutunya, dan setelah nuklir menjadi issu yang amat mengkhawatirkan kelangsungan hidup di bumi, persoalan moral menjadi amat penting. Sementara itu kandungan persoalan moral dalam Alquran tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Dalam Ilmu Alam disebutkan sebuah dalil (teori yang telah diuji berkali-kali dan dibuktikan berkali-kali benar sehingga menjadi paradigma ilmu pengetahuan, bahwa baja itu merupakan benda padat, tetapi setelah ditemukan sinar U dan dimanfaatkan untuk alat-alat observasi mikroskopis terbukti baja itu ternyata berpori-pori (Quraish Shihab, l992 : 45). Bintang yang kita lihat bahkan oleh seluruh manusia di dunia tampak kecil bagaikan titik bersinar, setelah dilihat memakai alat pengindra benda-benda angkasa ternyata besarnya ribuan kali dari pada besar bumi (al-Ghazali, l964 : 15).
2. Teori ilmiah sebenarnya hanya bersifat relatif karena berubah-ubah, di samping amat terbatas. Garis lurus hanya terbatas dalam bidang dan jarak yang terbatas. Jika garis itu ditarik terus diperpanjang, justru akan menjadi garis lengkung dan bahkan akan bertemu pada suatu titik pangkal garis, yang berarti garis itu adalah melingkar.
Oleh karena kebenaran ilmiah dapat berubah dan relatif maka Alquran tidak bisa dijadikan alat untuk membenarkan atau menyalahkan temuan-temuan ilmiah. Sebab, ketika kita menggunakan Alquran Surat ar-Ra’d/13 : l7, 
انزل من السماء ماء فسالت اودية بقدرها فاحتمل السيل زبدا رابيا ومما يوقدون عليه فى النار ابتغاء حلية او متاع زبد مثله كذالك يضرب الله الحق والباطل فاما الزبد فيذهب جفاء
واما ينفع الناس فيمكث فى الارض كذالك يضرب الله الامثال
Artinya
Allah telah menurunkan air(hujan) dari langit, maka mengalirlah air dari lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan bagi yang bathil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (Q.S. ar-Ra’d/13 : l7). 
Untuk membenarkan teori strugle for life dari Charles Darwin (perjuangan untuk hidup), yaitu yang tidak bisa menjaga keselamatan diri akan dibinasakan oleh yang lain, atau Alquran Surat Nuh/71 : l3-14: 
ما لكم لا ترجون لله وقرا وقد خلقكم اطوارا 
Artinya
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah, padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian (Q.S. Nuh/71 : 13-14) 
Sebagai pembenar teori evolusi Darwin pula, mengandung bahya amat besar. Jika kedua teori itu benar, berarti benar atas nama Alquran. Tetapi jika ternyata kedua teori itu salah berarti Alquran juga salah. Oleh karena itu jika mengkur suatu teori ilmiah dari segi benar atau salah juga harus melalui metode ilmiah. Alquran adalah kitab petunjuk yang mesti benar. Jika harus ditemukan konsep, teori, bukan bersifat ilmiah (teori ilmiah) melainkan berwujud teori dasar, meminjam istilah dari Karl R. Popper grand theory, yang karakternya tidak dapat atau tidak perlu diuji secara ilmiah, melainkan dipercayai atas dasar iman. Dari teori dasar(grand theory) dapat diturunkan untuk merumuskan teori ilmiah (teori empiris, teori rasionalis , dan teori praktis). Untuk bisa menurunkan teori dasar (grand theory) menjadi teori ilmiah harus melalui unsur (variabel lain), yaitu medan kehidupan dan keseluruhan fenomena alam semesta. 
Berikut ini dicontohkan ayat Alquran sebagai sumber petunjuk kemudian dipahami menghasilkan konsep dasar (grand consept) selanjutnya teori dasar (grand theory) dan selanjutnya menghasilkan konsep dan teori empiris (empirical consept dan empirical theory. Ayat menyatakan demikian: 
يا ايهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, Diwajibkan atas kamu berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan (berpuasa) atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. al-Baqarah/2 : l83). 
Dari ayat itu diperoleh konsep dasar (grand concept): (l) puasa, dan (2) takwa.Teori dasar (grand theory) yang dapat dirumuskan adalah :” Ada hubungan sebab akibat anatara kegiatan puasa dean kualitas takwa”, (2) Jika berpuasa memperoleh peluang untuk bertakwa”, (3) “Tidak melakukan puasa pasti tidak memperoleh peluang untuk bertakwa”. Jadi, kegiatan berpuasa hanya memperoleh ‘peluang’ takwa, belum otomatis memperoleh kualitas takwa. Supaya kegiatan berpuasa pasti berbuah takwa, maka membutuhkan faktor antara yang wujudnya bisa faktor pendukung, faktor penentu, atau faktor penghambat, bahkan faktor pembatal. Aneka faktor ini berada di kancah kehidupan atau dalam dunia realitas. 
Supaya kegiatan berpuasa benar-benar berbuah takwa, semua faktor pendukung harus sesuai dengan koordinat ruang waktu mempertimbangkan situasi, kondisi maupun iklim kondusif yang sempurna untuk melaksanakan puasa. Berpuasa di kota Semarang umpamanya, kebetulan musim penghujan, pekerjaannya di kantor, waktunya antara jam 00.7,00 hingga jam l5.30 WIB. Di kantor banyak gangguan, di rumah suasananya kurang teratur, ada anggota keluarga yang tidak berpuasa karena halangan dan karena memang pengikut agama non Islam lalu makan-minum seenaknya saja tanpa mempedulikan kepada orang lain dalam rumah itu, tempat istirahat siang dekat dengan dapur yang sedang digunakan untuk memasak dan menimbulkan nafsu untuk makan, tetangga dekat amat bising, calon menu berbuka puasa amat membangkitkan selera makan dan cukup banyak, anak-anak selalu dan selalu menyetel musik yang iramanya tidak ia sukai, di samping volume suara demikian tinggi. Di lingkungan masyarakatnya berkembang opini bahwa shalat tarawih harus di masjid dan harus 20 rakaat plus 1 yang paham itu tidak cocog dengannya, dan secara umum lafal atau doa (dalam bahasa Jawa jopo) ibadah-ibadah yang ia laksanakan tidak ia pahami artinya. Keseluruhannya ini merupakan faktor penghambat karena mengganggu keikhlasan dan ketenangan dalam berpuasa. 
Faktor-faktor penghambat ini harus dinetralisir dulu, yaitu: 
  • Kerja di kantor harus serius sebagai pelaksanaan ibadah. Pada saat senggang digunakan berzikir dan tidak menggosip orang lain. 
  • tata ruang baik di kantor maupun di rumah diusahakan sehat dan artistik meskipun barang-barang miliknya sederhana, angin masuk di ruangan cukup, penerangan cukup, kalau hujan tidak bocor, atau secara umum nyaman. 
  • Seluruh anggota keluarga diusahakan semua beragama Islam. Kalau ada yang beragama lain diusahakan seminimal mungkin kontak dengannya, kalau terpaksa kontak supaya banyak-banyak membaca istighfar.
  • kebisingan tetangga dekat harus diusahakan tidak lagi bising. 
  • volume musik diusahakan nyaman didengar oleh orang-orang yang sedang melaksanakan puasa baik karena keadaan lapar maupun haus, iramanya bercorak religius. 
Atau dengan kata lain, semua situasi, keadaan, hal, dan peristiwa yang mendukung pelaksanaan puasa harus terpelihara, di samping makanan yang dikonsumsi benar-benar halalal thayyiban, dalam berbuka puasa memenuhi aturan makan-minum, dan niatnya benar-benar ikhlas lillahi Ta’ala. Syarat-, rukun, dan hal-hal yang menyempurnakan puasa dipenuhi, dan hal-hal yang merusak puasa atau yang merusak keutamaannya dinetralisir tentu predikat takwa akan diperoleh. Atau secara singkat faktor penghambat dihilangkan dan faktor pendukung di wujudkan, tentu predikat takwa karena berpuasa pasti diperoeh. 
Untuk mengakhiri uraian ini, jika koordinat ruang waktu berdeda dari yang dicontohkan ini, tentu berbeda pula kualitas pelaksanaan puasanya, meskipun konsep dasar (grand concept) maupun teori dasar (grand theory) puasa dan takwa tetap sama. Dari sini dapat dihepotesiskan bahwa pelaksanaan berpuasa oleh orang seorang berkenaan dengan koordinat ruang waktu ada yang memperoleh kualitas agak takwa, takwa, benar-benar takwa, atau hanya sekedar berpuasa dan takwanya tidak ia peroleh. Dalam sitiran hadis Nabi ada orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya seikedar lapar dan dahaga, lain tidak.
C. Mencari Ilmu
Telah dijelaskan bahwa agama menjadi petunjuk seluruh kehidupan termasuk di dunia Ilmu. Dalam dunia ilmu Islam memberikan perintah akan kewajiban mencari ilmu justru ayat pertama menyatakan perintah itu: “iqra’ bismirabbikallazi khalaq” (Bacalah! Atas Tuhanmu yang telah menciptakan).Berikut ini dijelaskan berbagai hal tentang ilmu. Hadis yang amat populer menyatakan “Uthlub al-‘ilma walau bi ash-shin” (Carilah ilmu meskipun di negeri Cina); “Thalabu al-‘ilmi faridatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin”(Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki maupun orang Islam perempuan); “Uthlub al-‘ilma min al-mahdi ila al-lahdi” (Carilah ilmu sejak dari buain Ibu hingga ke liang lahat, dalam arti sepanjang hayat – Fatah,et all,2003 : 37). 
Atas dasar berbagai hadis tersebut dipahami bahwa mencari ilmu itu wajib. Akan tetapi ketegasan mencari ilmu secara naqli terambil dari wahyu yang pertama turun itu. Kemudian argumen mencari ilmu wajib dikaitkan dengan berbagai ayat atau hadis berkenaan dengan ilmu, umpama seorang ‘alim (ilmuwan/pakar) amat tinggi derajatnya, begitu jelek bagi orang yang bakhil dengan ilmu, dan begitu utama pencari ilmu. Demikian petunjuk-petunjuk tentang ilmu yang dimaksud. 
1. Keutamaan-keutamaan ilmuwan (al-‘alim – al-’allamah) antara lain sebagai berikut: 
a. Allah mengangkat status amat tinggi bagi para ilmuwan. Allah berfirman : 
— يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
Artinya
. . .niscaya Allah akan meninggikan kamu orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengtahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-Mujadilah/58 : ll). 
b. Yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah orang-oranmg yang berilmu (al- ‘alim – al-‘allamah atau ilmuwan dan pakar). Dalam hal ini Allah berfirman: 
—انما يخشى الله من عباده العلموا ان الله عزيز غفور
Artinya
. . .Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Q.S. Fathir/35 : 28).
c. Kelangsungan hidup antara orang hidup di dunia dengan orang yang sudah mati, salah satunya adalah ilmu. Demikian sabda Nabi saw: 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية اوعلم نتفع به ا وولد صا لح يد عو له( رواه مسلم عن ا بى هريره)
Artinya:
Rasulullah saw. Bersabda: Apabila anak Adam meninggal maka putuslah amal perbuatanya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya (H. R Muslim dari Abi Hurairah).
d. Orang yang pergi mencari ilmu dimudahkan ke surga. Dalam hal ini Rasulallah bersabda:
من سلك طر يقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا الى الجنة (رواه الترمذى عن ابى هريره)
Artinya:
Barang siapa yang mengambah jalan untuk mencari ilmu maka allah akan memudahkan jalan baginya kesurga. ( H. R. at-Turmuzi dari Abi Hurairah).
e. Perbandingan antara ilmuwan dan ahli ibadah laksana Nabi dibanding orang Islam yang paling rendah derajatnya:
ذكر رجلا ن احدهما عابد والاخرى عالم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل العالم على العابد كفضلى على ادناكم ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الله وملئكته واهل السموات والارض حتى النملة فى جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلم الناس الخير (الترمذى عن امامه الباهل)
Artinya
Disebutkan ada dua orang. Salah satunya adalah seorang yang ahli ibadah dan yang lainnya ilmuwan, maka Rasulullah saw. bersabda: Keutamaan seorang ilmuwan dibanding seorang ahli ibadah bagaikan Aku dan orang yang paling rendah diantara kamu sekalian; kemudian Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah dan para malaikat, penduduk langit dan bumi, hingga semut dalam liangnya dan ikan paus, sungguh mereka mendoakan kepada seorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain (H.R. at-Turmuzi dari Umamah al-Bahili).
f. Ilmuwan amat ditakuti syetan. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فقيه اشد على الشيطان من الف عابد (رواه الترمذى عن
ابن عباس)
Artinya
Rasulullah saw. bersabda: Seorang faqih (cerdik pandai) seribu kali ditakuti syetan dibanding seorang yang ahli ibadah (H.R. at-Turmuzi dari Ibnu Abbas).
2. Kecelakaan bagi orang yang bakhil dengan ilmu:
a. Orang yang terlalu komersial dengan ilmu akan diikat dengan api. Demikian Rasulullah saw. bersabda: 
من سئل عن علم فكتمه لجم يوم القيامة بلجام من نار (رواه ابو داود والترمذى عن ابىهريرة )
Artinya
Barang siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya pada hari kiyamat nanti ia akan diikat dengan tali dari api – H.R. Abu Dawud dan at-Turmuzi dari Abi Hurairah ( an-Nawawi, [t.th.]: 531).
b. Orang yang mencari ilmu bukan karena Allah, tempat duduknya besok di hari kiyamat adalah api (neraka). Demikian Rasulullah saw. bersabda: 
من تعلم علما لغير لله او اراد به غير الله فليتبواء مقعده من النار (رواه الترمذى عن ابن عمر)
Artinya
Barang siapa yang belajar (mencari ilmu) bukan karena Allah atau ia menghendaki dengan ilmu itu bukan karena Allah maka hendaklah ia menempatkan diri pada tempat duduk dari api (neraka), H.R. at-Turmuzi dari Ibnu `Umar (at-Turmuzi, IV,[t.th.]: 141). 
c. Siksa neraka bagi ilmuwan yang bangga dapat mengalahkan orang lain, mengelabuhi orang awam, dan agar orang lain memperhatikan kepada dirinya: 
من طلب علما ليجارى به العلماء او ليمارى به السفهاء ويصرف به وجوه الناس 
ادخله الله النار (رواه الترمذى عن كعب بن مالك وابوه)
Artinya
Barang siapa yang mencari ilmu (dengan tujuan) untuk mengalahkan para ilmuwan lain atau mengelabuhi orang-orang bodoh, atau supaya orang-orang memperhatikan dirinya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam api (neraka) H.R. at-Turmuzi dari Ka`ab bin Malik dan bapaknya (at-Turmuzi,IV,[t.th.]: l41).
Baik dari ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis sebagaimana dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa mencari ilmu itu amat penting bahkan wajib. Ilmuwan demikian tinggi derajatnya di sisi Allah dibanding dari para ahli ibadah, tetapi ilmuwan yang dimaksud adalah ilmuwan yang ilmunya bermanfaat bagi penegakan kalimat tauhid . Di luar itu (kalimah tauhid) hanya akan mengantarkan sang ilmuwan ke dalam api (neraka). Tegasnya ilmuwan sekuler akan masuk neraka. Alangkah baiknya jika ketika kita menyadari bahwa mencari ilmu untuk menaikkan status sosial, atau untuk merajut masa depan supaya baik dalam lapangan ekonomi, atau supaya dapat bekerja di suatu perusahaan, atau menjadi pegawai negeri, segera diubah niatnya itu dengan niat yang baru, yaitu untuk menghilangkan kebodohan, menjalankan kewajiban mencari ilmu, mencari rida Allah, menegakkan agama Allah, baru kemudian dapat ditambah dengan tujuan-tujuan lain (tujuan-tujuan duniawi). 
DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Qur’an al-Karim. 
  • ‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.trh.]. 
  • ————-al-Lu’lu’ wa al-Marjan,I,II,III, Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]. 
  • al-ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, al-Munqiz min ad-Dalal. Qahirah: Anglo al-Mishiriyyah, l964.
  • A Kadir, Muslim, Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
  • Kraar, Louis, “The New Power of Asia” dalam Reader Digest (edisi Asia), Vol.I.52. No.309, Desember l988.
  • Kemeney, John G, A Philoshopher Looks at Science. New York: Van Nostrand Reinhold, l981.
  • Mazkur, Ibrahim, al-Mu’jam al-Falsafi. Qahirah: Jamhuriyyah Mishr al-Arabiyyah, l979. 
  • Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, l988. 
  • Runes, Dagobert D, Dictionary of Philosophy. Totowa-New Jersey: Little field & Adams Co., l976.
  • Russel, Bertrand, Human Knowledge, Its Scope and Limits. Oxford: Oxford Press, l079. 
  • An-Nawawi, Muhiyyi ad-Din Abi Zakaria Yahya bin Syaraf, Riyad ash-Shalihin.
  • Surabaya: Syirkah Maktubah wa Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Awladuh, [t.th.]. 
  • Santosa, Fatah (et all). Studi Islam 3, Surakarta: Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003.
  • Shihab, M.Quraish, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, l992. 
  • At-Turmuzi, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Turmuzi,IV. Semarang: Thaha Putra, [t.th.].