Kerajaan Mataram Kuno (Medang) Masa Hindu-Budha

Kerajaan Mataram Hindu, berlokasi di pedalaman Jawa tengah, di sekitar daerah yang banyak dialiri sungai. Letak ibu kota kerajaan secara tepat belum dapat dipastikan, ada yang menyebut Medang di Poh Pitu, Ri Medang ri Bhumi Mataram. Daerah yang dimaksud belum jelas, kemungkinan besar di daerah Kedu sampai sekitar Prambanan (berdasarkan letak prasasti yang ditemukan).

Kerajaan Mataram Kuno (Medang) Masa Hindu-Budha

  1. Sosial Budaya Kerajaan Mataram

Masyarakat Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan banyaknya bangunan candi yang dibuat, Termasuk dua Candi besar yang sangat termahsyur. Tidak lain adalah Candi Borobudur yang dibuat pada masa pemerintahan Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Dan yang kedua adalah Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan selesai pada masa pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu.

  1. Sistem Ekonomi

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Melihat dari letak wilayah kerajaan yang berada di dekat aliran sungai, dan informasi dari prasasti canggal yang menyebutkan jawa kaya akan padinya, kemungkinan besar mata pencaharian penduduknya sebagian besar dari bercocok tanam.

  1. Sistem Kepercayaan

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika wangsa Syailendra berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Budha aliran Mahayana. Pemerintahan kedua dinasti yang berbeda agama, dapat berjalan dengan rukun. Dibawah pemerintahan Dinasti Syailendra toleransi agama masih terjaga. Terbukti dengan Candi-candi yang berada di Jawa Tengah bagian utara bercorak Hindu.

Sedangkan bagian selatan bercorak Budha. Hal ini menjadi bukti bahwa kerukunan hidup umat beragama di Indonesia sudah ada sejak dulu. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya berkuasa , agama Hindu dan Budha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

  1. Perkembangan Mataran Pemerintahan berdasarkan Sumber Sejarah

Dua prasasti peninggalan Mataram Hindu sama-sama menyebutkan nama Sanjaya yang merupakan anak dari Sanna, Raja ketiga Galuh, yang beristri Sannaha. Sannaha adalah cucu ratu Shima, Penguasa Kerajaan Kaling. Adapun kedua Prasasti dari Kerajaan Mataram Hindu adalah Prasasti Canggal dan Prasasti Mantyasih.

  1. Prasasti Canggal

Prasasti Canggal yang ditandai dengan Candrasengkala Cruti Indra Rasa = 654 C =732 M. ditemukan di kompleks Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ini berbahasa sanskerta dan hurufnya

Pallawa isinya adalah asal-usul Sanjaya, Menurut prasasti ini Jawa awalnya dipimpin oleh Raja Sanna, ia memerintah dengan sangat adil, setelah ia wafat, digantikan oleh putranya yang bernama Sanjaya. Diceritakan Sanjaya melakukan pembangunan lingga di bukit Stirangga, Desa Kuntjarakuntja di prasasti ini. Selain itu dijelaskan pula keadaan pulau jawa yang sangat makmur, kaya akan padi dan emas. Keadaan kerajaan digambarkan sangat tentram.

  1. Daftar Raja Raja Mataram (berdasarkan Prasasti Canggal)

    1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
    2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
    3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
    4. Rakai Warak alias Samaragrawira
    5. Rakai Garung alias Samaratungga
    6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
    7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
    8. Rakai Watuhumalang
    9. Rakai Watukura Dyah Balitung
    10. Mpu Daksa
    11. Rakai Layang Dyah Tulodong
    12. Rakai Sumba Dyah Wawa
    13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur (Sri Isyana Dharmottungga) mendirikan dinasti Isyana
    14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
    15. Makuthawangsawardhana
    16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang/Mataram berakhir akibat terjadinya Pralaya. Menantu Dharmawangsa bernama Airlangga berhasil meloloskan diri dan mendirikan kerajaan Kahuripan.
  1. Prasasti Mantyasih

Prasasti Mantyasih atau Prasasti Balitung berangka tahun 829 Çaka atau bertepatan dengan 11 April 907 M, ditulis dengan menggunakan aksara dan berbahasa Jawa Kuno. Prasasti ini berasal dari Wangsa Sanjaya. Prasasti Mantyasih ditemukan di Kampung Meteseh Kidul, Desa Meteseh, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang,

Provinsi Jawa Tengah. Isinya adalah daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno. Nama raja yang ditulis pada prasasti mantyasih adalah :

  1. Raja Sanjaya,
  2. Rakai Panangkaran,
  3. Rakai Panunggalan,
  4. Rakai Warak,
  5. Rakai Garung,
  6. Rakai Pikatan,
  7. Rakai Kayuwangi,
  8. Ratu Watuhumalang,
  9. Rakai Watukura Dyah Balitung.

Setelah Sanjaya wafat, penggantinya adalah Rakai Panangkaran, kuat dugaan bahwa semenjak masa kekuasaan Rakai Panangkaran , Dinasti Syailendra (dari Kerajaan Sriwijaya) mulai mengasai Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya sebagai bawahan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa Rakai Panangkaran, kerap membangun candi bercorak Budha pada masa pemerintahannya seperti Candi Sewu, Plaosan, dan Kalasan. Pembangunan Candi Kalasan sendiri merupakan perintah dari Maharaja Wisnu, Raja dari Dinasti Syailendra. Setelah Rakai Panangkaran, Dinasti Syailendra masih berkuasa atas Mataram Kuno selama kurang lebih satu abad.

Beradasarkan Prasasti Kalasan: Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tarra (Berupa Candi Kalasan yang bercorak Budha) dan menghadiahkan desa kalasan bagi Sanggha (Budha)

Sampai pada akhirnya terjadi pernikahan antara antara Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dengan Pramodhawardhani pernikahan tersebut ditentang oleh Balaputradewa adik Pramodhawardhani (Dinasti Syailendra). Balaputradewa sendiri kalah dan menyingkir ke Sriwijaya, tempat nenek moyangnya. Kelak dibawah pimpinan Balaputradewa, Sriwijaya mencapai jaman keemasaan.

Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Syailendra atas Mataram Kuno. Dibawah Pemerintahan Rakai Pikatan wilayah kekuasaan Mataram Kuno meluas sampai ke Jawa Timur. Adapun setelah Rakai Pikatan wafat, Raja yang menggantikannya secara berturut-turut adalah Rakai Kayuwangi, Ratu Watuhumalang, Rakai Watukura Dyah Balitung, Daksa (910 –919) Tulodong (919 – 921) dan Wawa (921 – 927). Wawa adalah raja terakhir Dinasti Sanjaya.

  1. Silsilah Raja Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno (Medang) Masa Hindu-Budha

Kurun Waktu

Nama Raja atau Penguasa

Prasasti

Peristiwa

717-760

Sanjaya

Prasasti Canggal (732), Prasasti Wanua Tengah 3

Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarahwan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra

760-775

Rakai Panangkaran

Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778), Prasasti Wanua Tengah 3

Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan

775-800

Dharanindra (Rakai Panaraban)

Prasasti Kelurak (782), Prasasti Ligor B (sekitar 787) Prasasti Wanua Tengah 3

membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790)

800-827

Samaragrawira (rakai Warak)

prasasti nalanda Prasasti Ligor B (sekitar 787), Prasasti Wanua Tengah 3

 Ayah dari samaratungga dan anak dari Dharanindra dan disebut sebagai raja yang perkasa.Kamboja memerdekakan diri (802).

827-828

Dyah Gula

Prasasti Wanua Tengah 3

 

828-847

Samaratungga (rakai Garung)

Prasasti Karangtengah (824), Prasasti Wanua Tengah 3

merampungkan Borobudur (825)

848-855

Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan(Mpu Manuku)

Prasasti Siwagrha (856) atau prasasti Wantil.prassti Argopura, prasasti Munduan 807  prasasti Kayumwungan 824 prasasti Tulang Air 850, Prasasti Wanua Tengah 3

Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatera (Sriwijaya). Menurut prasasti Wantil Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram & Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat. prassti Argopura, pada tahun 856 perkawinan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. prasasti Munduan 807  Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. prasasti Kayumwungan 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar, prasasti Tulang Air 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan

856-885

Rakai KayuWangi Dyah Lokapala

Prasasti Argopura. prasasti Wantil. Prasasti Wuatan Tija. prasasti Kalirungan tahun 883. Prasasti Wanua Tengah 3

Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. 10 Desember 880 Rakai Kayuwangi mengeluarkan prasasti untuk menganugerahi para pemuka desa Wuatan Tija karena mereka telah berjasa menolong putranya yang bernama Dyah Bhumijaya

885(8 bulan)

Dyah Tagwas

Prasasti Wanua Tengah 3

 

885-887

Rakai Panumwangan Dyah Dewendra

prasasti Poh Dulur, 890, Prasasti Wanua Tengah 3

 

887

Rakai Gurun Wangi

prasasti Munggu Antan, 887, Prasasti Wanua Tengah 3

 

887-898

Rakai Wulkahumalang

prasasti Panunggalan, Prasasti Wanua Tengah 3

prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji

899-910

Rakai Dyah Balitung

prasasti Telahap (899), Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904, Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907, Prasasti Wanua Tengah 3

Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa. Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo.

910-919

Mpu Daksa

Prasasti plaosan,prasasti Talahap, prasasti Ritihang tanggal 13 September 914, prasasti Timbangan Wungkal

prasasti Timbangan Wungkal 913 Masehi. Isinya tentang pengaduan Dyah Dewa, Dyah Babru, dan Dyah Wijaya yang dulu mendapatkan hak istimewa dari Rakai Pikatan, namun kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang menjabat sebagai Sang Pamgat Mangulihi.Selain itu ditemukan pula prasasti Ritihang tanggal 13 September 914 tentang persembahan hadiah dari Mpu Daksa untuk permaisurinya.

919-921

Dyah Tulodhong

prasasti Lintakan

Prasasti Harinjing tanggal 19 September 921 berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya.Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927, di mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.

921-927

Dyah Wawa

prasasti Culanggi, prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928

prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

929-947

Mpu Sindok

 

Prasasti Turyan tahun 929 berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya terhadap tanah di barat sungai desa Turyan supaya dijadikan sebagai tempat bangunan suci. Prasasti Linggasutan tahun 929 berisi tentang penetapan desa Linggasutan, wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk menambah biaya pemujaan bathara di Walandit setiap tahunnya. Prasasti Gulung-Gulung masih dari tahun 929 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad.Prasasti Cunggrang juga bertahun 929 berisi tentang penetapan desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk menrawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang diduga sebagai ayah dari sang permaisuri Dyah Kebi.Prasasti Jru-Jru tahun 930 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura supaya desa Jru-Jru di daerah linggasutan dijadikan sima swatantra untuk merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.Prasasti Waharu tahun 931 berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu yang dipimpin Buyut Manggali, karena setia membantu negara melawan musuh.Prasasti Sumbut juga bertahun 931 berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu menhalau musuh negara.Prasasti Wulig tanggal 8 Januari 935 berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun para penduduk desa Wulig di bawah pimpinan Sang Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh seorang istri Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil. Prasasti Anjukladang tahun 937 berisi tentang penetapan tanah sawah di desa Anjukladang sebagai sima swatantra dan persembahan kepada bathara di Sang Hyang Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha atau tugu kemenangan.

 

  1. Konflik Tahta Periode Jawa Tengah

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

  1. Keruntuhan Kerajaan Mataram

Sesudah Dyah Wawa wafat digantikan menantunya yaitu Mpu Sindok selanjutnya memindahkan kerajaannya ke Jawa Timur dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana pada tahun 928 M. Konon pemindahan ini dikarenakan letusan Gunung Merapi, gempa vulkanik, dan hujan material vulkanik yang membuat kacau banyak daerah di Jawa Tengah.

Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Di Jawa timur ini Mpu Sindok melanjutkan Kerajaan Medang Kamulan.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya

Kekuasaan Wangsa Sailendra meliputi Kerajaan Medang dan juga kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Syailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

  1. Akhir Pemerintahan Kerajaan Mataram

Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.