Konsep Dasar Pendidikan Karakter

Konsep Dasar Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap dan perilaku masyarakat dan bangsa Indonesia sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Nilai-nilai karakter mulia, seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan, dan religius, sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh budaya asing yang cenderung hedonistik, materialistik, dan individualistik, sehingga nilai-nilai karakter tersebut tidak lagi dianggap penting jika bertentangan dengan tujuan yang ingin diperoleh. 
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki peradaban yang mulia (baca: masyarakat madani) dan peduli dengan pendidikan bangsa, sudah seyogyanya kita berupaya untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu tumbuh dan bersemi kembali menyertai setiap sikap dan perilaku bangsa, mulai dari pemimpin tertinggi hingga rakyat jelata, sehingga bangsa ini memiliki kebanggaan dan diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah bangsa-bangsa lain. Salah satu upaya ke arah itu adalah melakukan pembinaan karakter di semua aspek kehidupan masyarakat, terutama melalui institusi pendidikan.
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang. 
Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang ditampilkan oleh media baik cetak maupun elektronik sekarang ini sudah melewati proses panjang.
Budaya seperti itu tidak hanya melanda rakyat umum yang kurang pendidikan, tetapi sudah sampai pada masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga melanda para elite bangsa ini.
Pendidikan yang merupakan agent of change harus mampu melakukan perbaikan karakter bangsa kita. Karena itu, pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi “dunia” masa depan yang penuh dengan problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang memiliki karakter mulia. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan di masa-masa mendatang tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan seperti di atas, para peserta didik (siswa dan mahasiswa) harus dibekali dengan pendidikan khusus yang membawa misi pokok dalam pembinaan karakter mulia. Pendidikan seperti ini dapat memberi arah kepada para peserta didik setelah menerima berbagai ilmu maupun pengetahuan dalam bidang studi (jurusan) masing-masing, sehingga mereka dapat mengamalkannya di tengah-tengah masyarakat dengan tetap berpatokan pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang universal.
Arah dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti diamanatkan oleh UUD 1945, adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia. Amanat konstitusi kita ini dengan tegas memberikan perhatian yang besar akan pentingnya pendidikan karakter (akhlak mulia) dalam setiap proses pendidikan dalam membantu membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh peserta didik. Keluarnya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni UU no. 20 tahun 2003, menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita. Pada pasal 3 UU ini ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Misi besar pendidikan nasional seperti di atas menuntut semua pelaksana pendidikan di memiliki kepedulian yang tinggi akan masalah moral atau karakter.
Upaya yang bisa dilakukan untuk pembinaan karakter peserta didik di antaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran (mata kuliah) yang sarat dengan materi pendidikan karakter (akhlak/nilai) seperti Pendidikan Agama dan Pendidikan  Kewarganegaraan. Di samping itu, guru atau dosen harus merancang setiap proses pembelajaran di kelas dengan mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya.
Untuk mendukung proses pembinaan karakter di kelas perlu juga dibangun budaya sekolah atau kampus yang dapat membawa peserta didik melakukan proses pembiasaan dalam membangun karakter mulia.
Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian,berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.
Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan dikemukakan juga pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “al-akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya’qub, 1988: 11). Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27).
Dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama, atau sopan santun (Faisal Ismail, 1988: 178). Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yaknisama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa’id, 1986: 23-24). Etika lebih memandang perilaku secara universal, sedang moral memandangnya secara lokal. Untuk mengaplikasikan akhlak, etika, atau moral dalam diri seseorang dimunculkan bidang ilmu yang disebut Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, atau Pendidikan Moral.
Pengembangan dan Pembinaan Karakter
1. Peran Agama dalam Pengembangan Karakter
Untuk menjadikan manusia memiliki karakter mulia (berakhlak mulia), manusia berkewajiban menjaga dirinya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin, selalu menambah ilmu pengetahuan, membina disiplin diri, dan berusaha melakukanperbuatan-perbuatan terpuji serta menghindarkan perbuatan-perbuatan tercela. Setiap orang harus melakukan hal tersebut dalam berbagai aspek kehidupannya, jika ia benar-benar ingin membangun karakternya.
Sebagai salah satu agama samawi (bersumber dari wahyu Tuhan), Islam memberikan pembelajaran yang tegas tentang karakter atau akhlak. Apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., selaku pembawa agama Islam, harus diteladani oleh semua pengikutnya (umat Islam). Nabi Muhammad Saw. berhasil membangun karakter umat Islam setelah menempuh waktu yang lama (sekitar 13 tahun) dan dengan kerja keras yang takkenal lelah. Nabi memulainya dengan pembinaan agama, terutama pembinaan akidah (keimanan). Dalam konsep Islam, akhlak atau karakter mulia merupakan hasil dari pelaksanaan seluruh ketentuan Islam (syariah) yang didasari dengan fondasi keimanan yang kokoh (akidah). Seorang Muslim yang memiliki akidah yang kuat pasti akan mematuhi seluruh ketentuan (ajaran) agama Islam dengan melaksanakan seluruh perintah agama dan meninggalkan seluruh larangan agama.
Inilah yang disebut takwa. Dengan pelaksanaan ketentuan agama yang utuh baik kuantitas dan kualitasnya, seorang Muslim akan memiliki karakter mulia seperti yang sudah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya.
Dengan demikian, agama memiliki peran besar dalam pembangunan karakter manusia. Agama menjamin pemeluknya memiliki karakter mulia, jika ia memiliki komitmen tinggi dengan seluruh ajaran agamanya. Sebaliknya, jika pemeluk agama memiliki agama hanya sebagai formalitas belaka tanpa memperhatikan dan mematuhi ajaran agamanya, maka yang terjadi sering kali agama tidak bisa mengantarkan pemeluknya berkarakter mulia, malah agama sering menjadi tameng di balik ketidakberhasilan membangun karakter pemeluknya. Karena itulah, tidak sedikit orang yang lari dari agama dan ingin membuktikan bahwa ia mampu berkarakter tanpa agama. 
Inilah opini sebagian masyarakat yang sebenarnya keliru. Sebab karakter yang dibangun tanpa agama adalah karakter yang tidak utuh. Bagaimana orang dikatakan baik atau buruk karakternya jika ukurannya hanyalah berbuat baik kepada manusia saja dan mengabaikan hubungan vertikalnya (ibadah) kepada Tuhan.
Dalam pandangan religius dan etika Protestan, seorang individu bertanggung jawab atas keselamatan lahir batin melalui perbuatannya yang baik. Keselamatan manusia tergantung pada amal ibadahnya. Setiap orang bisa menjamin keselamatan kekalnya dengan jalan menghayati cara hidup yang etis, yakni hidup dengan saleh sambil bekerja dengan rajin dan jujur. Keselamatan dunia akhirat tergantung pada usaha pribadi seseorang. Etos Protestan ini dengan mudah bisa mengintegrasikan mandat Ilahi yang diterima setiap manusia dari Allah, Sang Pencipta, seperti diuraikan dalam Kitab Suci (Kejadian 1: 28): ”Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi, dan taklukkanlah itu …” (I. Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W., 2000: 61).
Pembinaan karakter (akhlak) juga harus dilakukan dengan masyarakat pada umumnya yang bisa dimulai dari kolega atau teman dekat, teman kerja, dan relasi lainnya. Dalam pergaulan kita di masyarakat bisa saja kita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan mereka, entah sebagai anggota biasa maupun sebagai pemimpin.
Sebagai pemimpin, kita perlu menghiasi dengan akhlak yang mulia. Karena itu, pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat mulia, seperti memiliki kemampuan, berilmu pengetahuan agar urusan ditangani secara profesional, memiliki keberanian dan kejujuran, lapang dada, penyantun, serta tekun dan sabar. Dari bekal sikap inilah pemimpin akan dapat melaksanakan tugas dengan amanah dan adil, melayani dan melindungi rakyat, dan bertanggung jawab serta membelajarkan rakyat. Sedangkan sebagai rakyat kita berkewajiban patuh, memberi nasihat kepada pemimpin jika ada tanda-tanda penyimpangan.
Di samping itu, pembinaan akhlak juga harus dilakukan terhadap makhluk lain, seperti dengan binatang, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya. Akhlak yang dikembangkan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi, yakni untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan fungsi ciptaan-Nya. Dalam kondisi apa pun (di masa perang atau damai) manusia dilarang merusak binatang dan tumbuhan kecuali terpaksa. Semua sudah diciptakan dan diatur sesuai dengan hukum alamnya masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan dan fungsi penciptaan (QS. al-Hasyr (59): 5).
Pendekatan yang utilitarian dan homosentris terhadap alam bertujuan untuk memanfaatkan alam demi kesejahteraan masyarakat. Gifford Pinchot, salah seorang penganjur etika perlindungan alam (conservation ethics), menyatakan bahwa sumber-sumber daya alamiah hendaknya digunakan dengan bijaksana guna menciptakan ”kesejahteraan optimal bagi sebanyak mungkin orang dalam kurun waktu selama mungkin pula”. Untuk menjamin tercapainya tujuan itu, ia menganjurkan agar pengelolaan lingkungan hidup serta sumber-sumber daya alamiah yang vital ditangani oleh negara. Pihak pemerintah harus mengambil keputusan berdasarkan prinsip bahwa masyarakat hendaknya mendapatkan manfaat yang besar dari usaha untuk memelihara sumber-sumber daya alamiah yang dapat diperbarui (I. Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W, 2000: 70).
Peran Lingkungan dalam Pengembangan Karakter
Pembudayaan karakter mulia perlu dilakukan demi terwujudnya karakter mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan penting dalam membangun karakter mulia di kalangan sivitas akademika dan para karyawannya.
Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan karakter (pendidikan moral) bagi para peserta didik yang didukung dengan membangun lingkungan yang kondusif baik di lingkungan kelas, sekolah, tempat tinggal peserta didik, dan di tengah-tengah masyarakat.
Untuk merealisasikan karakter mulia sangat perlu dibangun budaya atau kultur yang dapat mempercepat terwujudnya karakter yang diharapkan. Kultur merupakan kebiasaan atau tradisi yang sarat dengan nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur dapat dibentuk dan dikembangkan oleh siapa pun dan di mana pun.
Michele Borba menawarkan pola atau model untuk pembudayaan karakter mulia.
Ia menggunakan istilah “membangun kecerdasan moral”. Dalam bukunya, Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues That Kids to Do The Right Thing (2001) (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008), Borba menguraikan berbagai cara untuk membangun kecerdasan moral. Menurut Borba (2008: 4) kecerdasan moral adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. Borba menawarkan cara untuk menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak, yakni dengan menanamkan tujuh kebajikan utama (karakter mulia): empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan 
pun.
Empati merupakan inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebajikan ini membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorongnya menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta menuntutnya memperlakukan orang dengan kasih sayang. Hati nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar daripada jalan yang salah serta tetap berada di jalur yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika menyimpang dari jalur yang semestinya. Kontrol diri dapat membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan mengambil tindakan yang berakibat buruk. Kebajikan ini membantu anak menjadi mandiri karena ia tahu bahwa dirinya bisa mengendalikan tindakannya sendiri. Sifat ini membangkitkan sikap mural dan baik hati karena ia mampu menyingkirkan keinginan memuaskan diri serta merangsang kesadaran mementingkan keperluan orang lain. 
Rasa hormat mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain. Kebajikan ini mengarahkannya memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukan dirinya, sehingga mencegahnya bertindak kasar, tidak adil, dan bersikap memusuhi. Dengan ini ia akan memerhatikan hak-hak serta perasaan orang lain. Kebaikan hati membantu anak menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain. Dengan mengembangkan kebajikan ini, ia lebih berbelas kasih terhadap orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri, serta menyadari perbuatan baik sebagai tindakan yang benar.
Toleransi membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka diri terhadap pandangan dan keyakinan baru, dan menghargai orang lain tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, agama, kepercayaan, atau kemampuan. Dengan toleransi ia akan memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh pengertian, menentang permusuhan, kekejaman, kefanatikan, serta menghargai orang-orang berdasarkan karakter merea. Keadilan menuntun anak agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil, sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran dan berbagi, serta mendengar semua pihak secara terbuka sebelum memberi penilaian apa pun. Ia juga terdorong untuk membela orang lain yang diperlakukan tidak adil dan menuntut agar setiap orang diperlakukan setara (Borba, 2008: 7-8).
Tujuh kebajikan itu menjadi pola dasar dalam membentuk karakter (akhlak mulia) dan sisi kemanusiaannya hingga sepanjang hidup ia akan menggunakannya. Untuk mendasari itu semua perlu terlebih dahulu diajarkan berbagai nilai kebajikan yang harus direalisasikan dalam perilaku nyata oleh setiap manusia dalam kehidupannya seharihari.
Dengan demikian, seseorang akan mendapatkan kualitas sebagai insan kamil, insan yang berakhlak mulia, atau dengan istilah Michele Borba disebut manusia yang memiliki kecerdasan moral.
Dalam buku 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu: 
  1. inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas); 
  2. modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 
  3. facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan moralitas); 
  4. skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 
  5. developing a values education program (mengembangkan program pendidikan nilai). 
Dari pendapat Kirschenbaum ini maka semua guru harus meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter siswa melalui proses pembelajaran di kelas dan juga membangun lingkungan yang kondusif di luar kelas.
Tawaran Kirschenbaum di atas masih perlu ditambah dengan landasan pengembangan kecerdasan religius, karena hal ini telah banyak diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat dikelola dengan lebih mudah dengan hasil yang relatif baik. Semu aktivitas yang dilandasi ketakwaan kepada Tuhan akan dapat membangun kesadaran akan adanya pengawasan Tuhan dalam setiap ucapan dan 
perilaku seseorang (Darmiyati Zuchdi dkk., 2009: 52).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membangun kultur atau lingkungan yang mendukung terwujudnya tujuan pendidikan, yakni karakter mulia, sangatlah penting.
Tiga lingkungan utama peserta didik, yakni lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat hendaklah dibangun yang sinergis dan bersama-sama mendukung proses pendidikan dan pembelajaran di kelas. Lingkungan yang jelek tidak hanya menghalangi tercapainya tujuan pendidikan, akan tetapi juga akan merusak karakter peserta didik yang dibangun melalui proses pembelajaran di kelas.
Nilai-nilai Karakter yang Ditargetkan
Pendidikan karakter di Universitas Negeri Yogyakarta yang dilaksanakan melalui berbagai program (seperti di jelaskan di bab I buku ini) adalah dalam rangka transformasi dan pembudayaan nilai-nilai moral dasar. Ada banyak nilai karakter atau akhlak mulia yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam sekitarnya. Jika nilai-nilai ini bisa direalisasikan dalam kehidupan manusia, maka akan dihasilkan manusia yang paripurna (insan kamil) dan terciptalah kehidupan yang bermartabat.
Cukup banyak pakar pendidikan karakter yang memberikan tawaran tentang nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan untuk membangun karakter seseorang. Dengan merujuk berbagai pakar pendidikan karakter, Ary Ginanjar kemudian menetapkan tujuh nilai utama untuk membangun karakter, yaitu kejujuran, tanggung jawab, visioner, kedisiplinan, kerja sama, keadilan, dan kepedulian. Di samping mempertimbangkan pendapat para pakar pendidikan karakter, Ary mengaitkan tujuh nilai utama itu dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Asma’ al-Husna (Nama-nama Terbaik milik Allah) dan merebaknya fenomena kemerosotan moral di Indonesia yang ditandai dengan terjadinya krisis tujuh nilai utama tersebut (Darmiyati Zuchdi dkk., 2009: 48).
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama, yaitu kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli), dan kecerdasan (cerdas). Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa sekaligus, tetapi harus bertahap.
Pembinaan karakter di Universitas Negeri Yogyakarta sudah dimulai sejak tahun 2008 setelah diadakannya Seminar dan Lokakarya Restrukturisasi Pendidikan Karakter.
Seminar dan lokakarya ini telah menghasilkan sejumlah nilai target yang dipilih oleh setiap kelompok peserta, yakni kelompok pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga administrasi. Dari nilai-nilai target yang dipilih kemudian dilakukan analisis terhadap  frekuensi kemunculan pilihan nilai dari setiap kelompok, sebagai dasar untuk menentukan nilai-nilai target yang dikembangkan di Universitas Negeri Yogyakarta.
Dari sekian banyak nilai-nilai yang dimunculkan, akhirnya terpilih 16 nilai target, yaitu:
  1. Ketaatan beribadah, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan untuk selalu menjalankan ajaran agamanya.
  2. Kejujuran, yakni sikap dan perilaku seseorang yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan perbuatannya.
  3. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, maupun Tuhan YME.
  4. Kedisiplinan, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan ketertiban dan kepatuhan terhadap berbagai ketentuan dan peraturan.
  5. Etos kerja, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan semangat dan kesungguhan dalam melakukan suatu pekerjaan. Karakter inilah yang sekarang terwujud dalam bentuk kerja sama, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya dalam melakukan suatu pekerjaan bersama-sama secara sinergis demi tercapainya tujuan.
  6. Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
  7. Sinergi, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai pekerjaan yang dilakukan.
  8. Kritis, yakni sikap dan perilaku yang berusaha untuk menemukan kesalahan atau kelemahan maupun kelebihan dari suatu perbuatan. 
  9. Kreatif dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
  10. Visioner, yakni pandangan, wawasan, dan kemampuan seseorang untuk membangun kehidupan masa depan yang lebih baik.
  11. Kasih sayang dan kepedulian, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan suatu perbuatan atas dasar cinta dan perhatian kepada orang lain maupun kepada lingkungan dan proses yang terjadi di sekitarnya.
  12. Keikhlasan, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melakukan suatu perbuatan dengan ketulusan hatinya.
  13. Keadilan, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan upaya untuk melakukan perbuatan yang sepatutnya sehingga terhindar dari perbuatan yang semena-mena dan berat sebelah.
  14. Kesederhanaan, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan kesahajaan dan tidak berlebihan dalam berbagai hal.
  15. Nasionalisme, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  16. Internasionalisme, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat seseorang yangmenunjukkan bahwa bangsa dan negaranya merupakan bagian dari dunia sehingga terdorong untuk mempertahankan dan memajukannya sehingga dapat berkiprah di dunia internasional.
Pada implementasi pendidikan karakter yang terintegrasi dalam perkuliahan dan pengembangan kultur di Universitas Negeri Yogyakarta untuk tahun pertama (2010) diintegrasikan 6 nilai dari 16 nilai yang ditargetkan seperti di atas, yaitu: ketaatan beribadah, kejujuran, tanggung jawab dan kedisiplinan, kepedulian dan hormat pada orang lain, kerja sama/etos kerja, dan kemandirian. Keenam nilai ini diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai mata kuliah dan juga dibudayakan melalui pengembangan kultur universitas. Adapun hasil dari pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dan pembudayaan kultur di Universitas Negeri Yogyakarta, terutama enam nilai karakter yang ditargetkan ini, bisa dibaca pada bab berikutnya. 
Daftar Pustaka:
  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Borba, Michele. (2008). Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi. Terj. oleh Lina Jusuf. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  • Darmiyati Zuchdi dkk. (2009). Pendidikan Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press. Cet. I.
  • Darmiyati Zuchdi. (2010). Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. III.
  • Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
  • Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1987). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XV.
  • Faisal Ismail. (1988). Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titihan Ilahi Press.
  • Hamzah Ya’qub. (1988). Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV.
  • Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. (1999). Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass.
  • Kirschenbaum, Howard. (1995). 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Massachusetts: Allyn & Bacon.
  • Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:Bantam books
  • Marzuki. (2009). Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY.
  • Muka Sa’id. (1986). Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
  • Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I.
  • Rachmat Djatnika. (1996). Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka Panjimas.