Pembelajaran bahasa ditinjau dari segi Aksioligi

Setiap manusia mempunyai potensi yang sama untuk menguasai bahasa. Proses dan penguasaan bahasa setiap orang berlangsung dinamis dan melalui tahapan yang hampir serupa. Dalam hal ini terdapat dua istilah yakni pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. 
Kridalaksana (2001: 159) mendefinisikan pemerolehan bahasa sebagai proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada manusia melalui beberapa tahap, mulai dari meraban sampai kefasihan penuh. Sedangkan pembelajaran bahasa diartikan sebagai proses dikuasainya bahasa sendiri atau bahasa lain oleh seorang manusia. 
Menurut Dardjowidjojo, (2008:225) Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni, belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. 
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pembelajaran bahasa merupakan proses yang terjadi secara sadar yang ditandai dengan dua karakteristik; adanya balikan dan pengisolasian kaidah. 
Seseorang yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, maka akan semakin tinggi tingkat kompetensi dan perfomansinya. Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran (Luya, 2013:2). 
Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran. 
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. 
Disisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. 
Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik (Wikipedia, 2016). Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. 
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya (Basiran, 2006:134) Ilmu dalam perspektif Aristoteles tak mengabdi pada pihak lain. Ilmu digeluti umat manusia demi ilmu itu sendiri. Dikenallah ucapan“primum vivere, deinde philoshopori” berjuanglah terlebih dahulu, baru boleh berfilsafat. Ilmu hadir untuk kepentingan umat manusia. Sehingga dengan makalah inilah, sebuah ilmu memiliki dasar tujuan. Etika dan moral adalah sebuah nilai. Istilah moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata „moral‟ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. 
Bila kita membandingkan dengan arti kata „etika‟, maka secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, kalau arti kata moral sama dengan kata etika, maka rumusan arti kata moral adalah nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa Latin (Asmaran, 1992:8) 
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan „moral‟, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Menurut Kondratyev (2000), moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan tanggung jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. Kondratyev juga menjelaskan lebih jauh bahwa moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. 
Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya. Dihadapkan dengan masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama yaitu golongan yang menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaan dan pemilihan objek penelitiannya harus berlandaskan asas-asas moral. 
Bagi kaum materialistik- rasional dan empirisme murni, ilmu mesti bebas dari berbagai nilai. Dari moralitas dan etika yang mengerangkeng. Mereka menyebut nilai sebagai penjara bagi kaum berpikir atau seorang ilmuwan. Akan tetapi, bagi kalangan agamawan atau kaum spiritualis dan humanis seperti yang telah diungkapkan pada latar belakang di atas, mereka lebih mengedepankan azas kemanfaatan. Mereka mempertanyakan segala produk manusia, “apakah bermanfaat bagi kehidupan manusia ataukah tidak.” Filosof beragama biasanya, menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. 
Memandang bahasa dari segi moralitas penggunaannya bukanlah hal yang mudah. Baik atau buruk, atau menilai secara moral penggunaan bahasa bergantung dari sisi mana kita memandang. Dari sisi penyampai bahasa (komunikator), suatu bahasa atau pernyataan dapat dikatakan baik meskipun dari sisi penerima (komunikan) berakibat buruk, dan sebaliknya, suatu bahasa atau pernyataan dapat dianggap baik oleh penerima pesan meskipun dari sisi penyampai pesan sebenarnya tidak baik. 
Secara umum, pandangan yang ada mengenai moralitas adalah penilaian bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Filosof Yunani Aristoteles menyatakan bahwa moralitas adalah hidup yang tertuang dalam perilaku yang benar, yaitu perilaku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Immanuel Kant dalam metafisika kesusilaan (Tjahjadi, 1991:47) mengartikan moralitas sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hokum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagi kewajiban kita. Apapun batasan mengenai moralitas, berkaitan dengan aksiologi keilmuan, sepantasnya kita berpedoman pada para ilmuan golongan kedua yang berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. 
Dalam pembelajaran bahasa, guru sebagai pengguna, harus mengikuti golongan kedua yang benyebutkan bahwa ilmu harus berlandaskan pada kaidahkaidah moral. Dalam undang-undang terdapat pasal-pasal yang menjabarkan tentang kode etik guru. Keputusan moral merupakan bagian yang penting dalam kajian filsafat moral. Penetapan apakah suatu perbuatan itu” baik ” atau ”tidak baik” yang menjadi persoalan mendasar dalam kajian filsafat moral tidak lain adalah persoalan yang sangat terkait dengan persoalan keputusan nilai. Hal ini dikarenakan jawaban tentang persoalan ini terletak pada bagaimana pemberian keputusan nilai moral tersebut. 
Dalam pengertian ini dapat pula dipahami bahwa betapa eratnya kaitan antara kajian nilai dan keputusan moral dalam filsafat moral. Sebenarnya keputusan moral lahir melalui dua proses, yaitu moral deliberation dan moral justification. 
Moral deliberation adalah proses pencarian alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan sebagai alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya dijadikan alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan moral justification merupakan pemberian alasan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan oleh seseorang atau oleh setiap orang, pada masa lalu atau dalam lingkungan tertentu, serta menunjukkan pula kenapa suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. 
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. 
Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik bila: 
  1. diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, 
  2. diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, 
  3. bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, 
  4. ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, 
  5. jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, 
  6. jika diberi balikan yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan 
  7. jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri. 
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan pembelajaran bahasa secara tepat dalam kehidupan manusia, tetapi harus menyadari apa yang seharusnya dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia. Tanggug jawab etis tersebut tidak lepas dari kesadaran etis manusia yang memungkinkan manusia dapat memperhitungkan akibat perbuatannya bahkan dapat mengetahui perkembangan yang akan terjadi di masa depan.