Raja dan Jendral Memimpin Pasukannya dari Depan, Benarkah?

Pada jaman dahulu para raja, pangeran, panglima, jendral atau tokoh besar lainnya seringkali diceritakan memimpin pertempuran secara langsung dari depan pasukan. berbagai lukisan dan film mempopulerkan ide yang sama. tetapi hal ini sulit diterima karena tampak terlalu berisiko dan berlebihan. tampak terlalu nekad untuk dilakukan karena kematian seorang pemimpin atau raja jelas membuat semua hal yang diperjuangkan dalam perang menjadi tidak berguna.

Begitu vitalnya keberadaan sang raja sehingga dipercaya kalau mereka tidak mungkin berada di depan ketika pertempuran berlangsung tetapi jauh di belakang pada posisi yang aman. apabila perang berlangsung tidak sesuai dengan rencana maka raja dan pemimpin lainnya bisa melarikan diri dengan mudah tanpa harus berurusan dengan pasukan lawan. keberadaan “pemimpin di depan” dalam novel ataupun lukisan dianggap tidak lebih daripada narasi cerita saja.

kesatria medieval eropa dalam pertempuran
Raja dan Panglima dilukiskan memimpin dari depan dan terlibat langsung dalam baku hantam

Pemimpin Garis Depan

Tapi tahukah anda bahwa pada masa lalu raja, pangeran dan panglima betul-betul memimpin pasukannya dari depan dan ikut terlibat dalam pertempuran? padahal jelas berbahaya dan kematian mereka bisa menghancurkan kerajaannya tetapi hal tersebut terus berlangsung. hal ini terjadi karena faktor pasukan yang mereka miliki. pada abad pertengahan dimana kekacauan besar terjadi seringkali prajurit profesional tidak tersedia dalam jumlah yang mencukupi.

Kebanyakan prajurit profesional sudah menjadi korban dalam perang saudara, perang penumpasan pemberontakan, ataupun konflik suksesi. mereka juga bisa dinonaktifkan karena kesetiaannya diragukan atau karena kerajaan tidak mampu membayar gaji mereka. sejumlah kecil prajurit profesional yang masih tersisa kemudian terserap untuk berbagai macam tugas lain seperti keamanan ibukota, kastil raja ataupun menjadi bodyguard para bangsawan.

Karena itu pihak yang bertikai lebih banyak mengandalkan prajurit sukarela alias levied troops. terdiri dari rakyat yang bergabung karena tidak mampu membayar pajak atau karena bencana kelaparan sehingga ikut kemiliteran agar bisa makan dan mendpatkan bayaran. aslinya mereka tidak lebih daripada buruh tani, pekerja kasar, pengrajin kecil, dan pengangguran. tentunya mereka tidak memiliki motivasi untuk bertempur layaknya prajurit profesional.

Motivasi yang tidak baik diperparah dengan minimnya peralatan tempur yang tersedia dan kurangnya waktu pelatihan karena dibutuhkan secepatnya dalam perang. akibatnya pasukan sukarelawan memiliki keahlian yang rendah, disiplin yang meragukan dan moral yang buruk. tidak mengherankan apabila pasukan tersebut harus selalu dipaksa dan diancam dengan hukuman militer agar bisa berfungsi layaknya unit militer dalam pertempuran.

pasukan samurai
Samurai dan ashigaru yang dipimpin langsung oleh Daimyo dalam pertempuran

Sadar sebagai pasukan yang terburuk dari kerajaannya, para sukarelawan ini selalu takut dikorbankan oleh pemimpinnya sendiri. memang merupakan cara yang umum untuk mengorbankan sebagian pasukan sehingga lawan menjadi lemah, letih dan rusak sebelum dihadapi oleh pasukan lain yang lebih kuat. pemikiran seperti ini membuat levied troops menjadi selalu curiga dan tidak percaya dengan struktur komando mereka sendiri.

Jumlah pasukan sukarela boleh besar tapi sebenarnya tidak terlalu berguna dalam perang. kurangnya motivasi dan buruknya moral membuat mereka begitu mudah lari ketika menghadapi situasi yang berbahaya di medan perang. hal ini tentu menjadi masalah yang memusingkan para pemimpin sebab pasukan sukarela merupakan mayoritas dari seluruh pasukan yang terlibat. jumlah mereka begitu mendominasi, seringkali di atas 70% dari total pasukan.

Bayangkan apa jadinya perang kalau hampir semua pasukan lari ketika diserang oleh musuh? karena itu para pemimpin harus selalu berada di tengah pasukan sukarelawan. bukan untuk mencari aman dengan jumlah yang besar tetapi sekedar untuk mencegah mereka agar tidak kabur dari medan pertempuran. bagi para jendral sendiri ada masalah lainnya karena pendidikan mereka secara tradisional bertujuan untuk memimpin pasukan yang terlatih.

Menangani pasukan sukarelawan jauh lebih sulit karena rendahnya disiplin dan moral sehingga cenderung membangkang dan memilih lari ketika dihadapkan pada situasi yang berbahaya. percuma membuat rencana dan strategi apabila pasukan lari ketika diserang oleh lawan. mereka tidak bisa diharapkan untuk menyerang ataupun bertahan. hal ini membuat gaya kepemimpinan jendral tradisional tidak efektif sehingga kemudian tersisihkan.

ramses in the eve of battle
Keberadaan sosok pemimpin kerajaan membuat pasukannya percaya diri dan berani bertempur

Mereka digantikan dengan tipe Jendral yang memimpin dari depan. perintahnya tidak sulit, cukup ikuti saja yang dilakukan olehnya. ketika menyerang ia akan menyerang paling depan, ketika bertahan ia akan berada di garis pertahanan terdepan. keberaniannya sang Jendral untuk berada di depan membuat pasukannya terdorong keberaniannya. tindakannya juga memberikan contoh yang lebih mudah diikuti oleh pasukannya.

Di tangan komandan yang memimpin dari depan pasukan sukarelawan bisa berubah menjadi pasukan tempur yang disegani seiringan dengan jumlah pertempuran yang mereka lalui. tentu semua hal ini bergantung dengan kemampuan dan keselamatan sang Jendral itu sendiri. sia-sia saja apabila seorang Jendral memimpin dari depan tetapi tewas di tangan musuh pada pembukaan perang. karena itu keberadaan mereka dibarengi dengan sepasukan elit bodyguard.

Selain dari keberadaan korps pilihan yang berkemampuan tempur tinggi jauh di atas rata-rata, sang Jendral juga wajib memiliki kemampuan tempur yang prima. seiringan dengan banyaknya partisipasi dalam pertempuran maka keduanya akan menjadi sangat berpengalaman dan ahli dalam pertempuran jarak dekat. hal inilah yang membuat banyak jendral dalam sejarah yang begitu disegani dan dianggap sebanding dengan ribuan prajurit.

Disebutkan para ahli yang berpengalaman mampu menjatuhkan lawannya dalam hitungan detik padahal sama-sama mengenakan helm dan baju pelindung lengkap. kemampuan ini membuat mereka mampu bertahan di posisi paling depan sebagai mata tombak (pasukan garis depan) dalam pertempuran. mereka sengaja menanggung beban terberat dan membebaskan pasukan sukarelawan untuk melakukan tugas yang lebih ringan yang mampu mereka lakukan.

duel between generals
Duel antara Lu Bu melawan Zhang Fei, Guan Yu dan Liu Bei dalam Kisah Tiga Kerajaan

Struktur komando yang mudah, yakni mengikuti kemana saja sang Jendral menyerang begitu cocok dengan pasukan sukarelawan sehingga efisiensinya meningkat drastis. apa yang tidak mereka memiliki dalam pergerakan kompleks dan rumit mereka kompensasi dengan jumlah yang besar. asalkan lawan tidak memiliki sejumlah besar pasukan yang jauh lebih baik maka biasanya tidak akan ada pihak yang memiliki keunggulan atau superioritas dalam pertempuran.

Tipe pemimpin garis depan secara alamiah akan menjadi standar pada masa konflik yang berkepanjangan. begitu lumrah sehingga para Raja dan pembesar lainnya akan ikut memimpin di depan karena jauh lebih efektif dalam perang. tidak selalu unggul, memimpin di depan memiliki risikonya sendiri yang khas dalam bentuk pertemuan dengan Jendral lawan yang juga memimpin di depan pasukannya. hal ini akan menyeret pada sebuah duel yang menentukan.

Duel pemimpin dan korps pilihannya akan menentukan jalannya perang. siapapun yang menang akan berada di atas angin, sedangkan Jendral yang kalah walaupun bisa menyelamatkan diri tetapi akan kehilangan ujung tombaknya. dirinya mungkin terluka dan korps pilihannya menjadi korban sehingga kemampuan tempurnya melorot drastis. bagi prajurit sukarela kalahnya pimpinan mereka menandakan “things aren’t looking very good right now“.

Kalau sudah begitu, harus menunggu bantuan atau mundur teratur. apabila dipaksakan bertempur maka hampir dipastikan akan kalah walaupun di atas kertas memiliki jumlah pasukan yang lebih besar. pasukan sukarelawan yang dipaksakan menanggung kerja pasukan pilihan dalam pertempuran kemungkinan besar akan kolaps dan melarikan diri dari pertempuran. begitu menentukan sehingga duel antar pemimpin seperti ini cenderung dihindari.

achilles vs hector
Pertarungan Achilles melawan Hector adalah contoh klasik bagaimana duel antar Jendral terjadi

Penutup

Situasi kepemimpinan seperti di atas tidak berlangsung terus menerus. seiringan dengan waktu dimana pasukan rekrutan menjadi veteran dan semakin banyak yang dilatih secara layak maka mereka berkembang menjadi prajurit profesional. artinya mereka mampu melakukan gerakan dan strategi yang lebih rumit, yang terpenting mereka disiplin, percaya dan patuh dengan pemimpinnya sehingga tidak lagi harus dipimpin dari depan agar efektif.

Mereka bisa dipercaya untuk menjaga satu titik mati-matian agar sang Jendral dan pasukan lainnya dapat menyerang lawan dari sisi lain. hal ini membuat Jendral garis depan digantikan dengan Jendral tradisional yang lebih mampu mengolah keseluruhan pertempuran dimanapun ia berada. keberadaan prajurit profesional dan jendral tradisional membuat pasukan suatu kerajaan mampu melawan musuh yang jauh lebih besar dengan manuver yang kompleks, lincah dan mematikan.

Pergantian antar tipe pemimpin yang berbeda ini kebanyakan terjadi secara natural dimana sang Jendral garis depan dan korps pilihannya menjadi tua berumur setelah melalui banyak pertempuran. oleh karenanya mereka lebih banyak memimpin secara tradisional di tengah-tengah pasukan. bukan hanya karena faktor usia tetapi juga karena jabatan dan pangkat mereka sudah tinggi sehingga tidak lagi memimpin satu pasukan saja tetapi banyak pasukan sekaligus.